Kamis, 22 Desember 2011

Konsep Pendidikan Naquib Al-attas


Biografi Syed Muhamad Naquib Al-Attas
Syed Naquib Al-Attas dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 5 September  1931. Pada waktu Indonesia berada di bawah kolonialisme Belanda. Bila dilihat dari garis  keturunannya, Al-Attas termasuk orang yang beruntung secara inhern. Sebab dari kedua  belah pihak, baik pihak ayah maupun pihak ibu merupakan orang-orang yang berdarah biru.  Ibunya yang asli Bogor itu masih keturunan bangsawan Sunda. Sedangkan pihak ayah masih  tergolong bangsawan di Johor. Bahkan mendapat gelar sayyed yang dalam tradisi Islam orang yang mendapat gelar tersebut merupakan keturunan langsung dari Nabi Muhammad.[1] (Daud, 2003)
Dari pihak bapak, kakek Syed Muhamad Naquib yang bernama Syed Abdullah Ibn  Muhsin Ibn Muhamad Al-Attas adalah seorang wali yang pengaruhnya tidak hanya terasa di  Indonesia, tetapi juga sampai ke negeri Arab. Muridnya, Syed Hasan Fad'ak, kawan  Lawrence of Arabia, dilantik menjadi penasihat agama Amir Faisal, Saudara Raja Abdullah  dari Yordania. Neneknya, Ruqayah Hanum, adalah wanita Turki berdarah aristokrat yang  menikah dengan Ungku Abdul Majid, adik Sultan Abu Bakar Johor (w.1895) yang menikah  dengan adik Ruqayah Hanum, Khadijah, yang kemudian menjadi Ratu Johor.[2]
Di sini ia kemudian melanjutkan pendidikan di sekolah Al-Urwatul-Wutsqa,  Sukabumi selama lima tahun. Di tempat ini, Al-Attas mulai mendalami dan mendapatkan  pemahaman tradisi Islam yang kuat, terutama tarekat. Hal ini bisa dipahami, karena saat itu,  di Sukabumi telah berkembang perkumpulan tarekat Naqsabandiyah.[3]
Setelah perang dunia II pada tahun 1946 Al-Attas kembali ke Johor untuk merampungkan pendidikannya, pertama di bukit Zahrah School kemudian di English  College. Setelah menamatkan sekolah menengah pada 1951, Al-Attas mendaftar di Resimen  Melayu sebagai kader dengan nomor 6675. Al-Attas dipilih oleh jenderal Sir Gerald Templer ketika itu menjabat sebagai British High Commisioner di Malaya, -untuk mengikuti  pendidikan militer pertama di Eton Hall, Chester, Wales, kemudian di Royald Military  Academy, Sandhurst, Inggris (1952-1955). Selama di Inggris, dia berusaha memahami aspek aspek yang mempengaruhi semangat dan gaya hidup masyarakat Inggris. Ketika di  Sandhurst, dia membina persahabatan dengan beberapa orang peserta pendidikan yang lain,  satu diantaranya adalah Syarif Zaid ibn Syakir, keponakan Raja Hussein dari Yordania yang  kelak akan menjadi Kepala Militer kemudian Perdana Menteri Yordania.[4]
Terusik oleh panggilan nuraninya untuk mengamalkan ilmunya yang telah  diperolehnya di Sukabumi, sekembalinya ke Malaysia Al-Attas memasuki dunia militer  dengan mendaftarkan diri sebagai tentara kerajaan dalam upaya mengusir penjajah Jepang.  Dalam bidang kemiliteran ini Al-Attas telah menunjukkan kelasnya, sehingga atasannya  memilih dia sebagai salah satu peserta pendidikan militer yang lebih tinggi. Dia belajar di berbagai sekolah militer di Inggris. Bahkan ia sempat mengenyam pendidikan akademi  militer yang cukup bergengsi di Inggris.
Setelah Malaysia merdeka (1957), Al-Attas mengundurkan diri dari dinas militer dan  mengembangkan potensi dasarnya yakni bidang intelektual. Untuk itu, Al-Attas dapat masuk  Universitas Malaya selama dua tahun. Al-Attas telah menulis dua buku ketika di Universitas  Malaya, buku yang pertama adalah Rangkaian Ruba'iyat, termasuk diantaranya adalah karya  sastra pertama yang dicetak Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur pada 1959. buku  yang kedua, yang menjadi karya klasik, adalah some aspect of shufism as Understood and  practiced among the Malays, yang diterbitkan Lembaga Penelitian Sosiologi Malaysia pada  tahun 1963, sedemikian berharganya buku yang kedua ini sehingga tahun 1959 pemerintahan  Kanada melalui Canada Councill Fellowship, memberinya beasiswa selama tiga tahun,  terhitung sejak tahun 1960, berkat kecerdasan dan ketekunannya, dia dikirim oleh pemerintah  Malaysia untuk melanjutkan studi di Institute of Islamic Studies, McGill University, Canada.  Dalam waktu yang relatif singkat, yakni 1959-1962, ia memperoleh gelar Master dengan  tesis Al-Raniriy and the Wujudiyah of the 17 Century Aceh. Dia sangat tertarik dengan  praktik sufi yang berkembang di Indonesia dan Malaysia, sehingga wajar bila tesis yang  diangkat adalah konsep wujudiyah Al Raniry. Salah satunya adalah dia ingin membuktikan  bahwa Islamisasi yang berkembang di kawasan tersebut bukan dilaksanakan oleh kolonial  Belanda, melainkan murni dari upaya umat Islam sendiri.
Belum puas dengan pengembaraan intelektualnya, Al-Attas kemudian melanjutkan  studi ke School of Oriental and African Studies di Universitas London. Disinilah di bawah  bimbingan Profesor Arbery dan Dr. Martin Lings, seorang profesor asal Inggris yang  mempunyai pengaruh besar dalam diri Al-Attas walaupun hanya terbatas pada tataran  metodologis. Selama kurang lebih dua tahun (1963-1965), dengan bimbingan Martin Lings,  Al-Attas menyelesaikan kuliahnya dan mempertahankan disertasinya yang berjudul The  Mysticism of Hamzah Fanshuri dengan nilai yang sangat memuaskan. Disertasi tersebut  merupakan karya terpenting dan komprehensif mengenai Hamzah Fansuri, sufi terbesar atau  bahkan sangat kontroversial di dunia Melayu.
Al-Attas kembali ke Malaysia pada tahun 1965, termasuk hanya beberapa orang  malaysia yang memperoleh gelar Doctor of Philosophy dan yang mendapatkannya dari  Universitas London, sekembalinya ke Malaysia, Al-Attas dilantik menjadi ketua Jurusan  sastra di Fakultas kajian Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur. Dari tahun 1968 sampai  pada 1970, dia menjabat sebagai Dekan Fakultas Sastra di kampus yang sama.
Memasuki tahapan pengabdian kepada Islam, Al-Attas memulai dengan jabatan di  jurusan Kajian Melayu pada Universitas Malaya. Hal ini dilaksanakan tahun 1966-1970. Di  sini dia menekankan arti pentingnya kajian sejarah Melayu, sebab mengkaji sejarah Melayu  dengan sendirinya juga mendalami proses Islamisasi di Indonesia dan Malaysia. Karya-karya pujangga Melayu banyak yang berisi ajaran-ajaran Islam terutama tasawuf. Pada tahun 1970, dalam kapasitasnya sebagai salah seorang pendiri senior Universitas kebangsaan Malaysia (UKM), tidak bisa terlepas dari peranannya. Karena Al-Attas sangat  intensif dalam memasyarakatkan budaya Melayu, maka bahasa pengantar yang digunakan  dalam Universitas tersebut adalah bahasa Melayu. Hal ini, oleh Al-Attas dimaksudkan agar d samping melestarikan nilai-nilai keislaman juga menggali akar tradisi intelektual Melayu  yang sarat dengan nilai Islam. Bahkan pada pertengahan tahun 70-an Al-Attas menentang  keras kebijaksanaan pemerintah yang berupaya menghilangkan pengajaran Bahasa Melayu  (Jawi), di pendidikan dasar dan lanjutan Malaysia. Sebab, dengan penghilangan tersebut  berarti telah terjadi penghapusan sarana Islamisasi yang paling strategis.
Al-Attas sendiri yang telah merancang dan mendesain bangunan kampus ISTAC  tahun 1991, pada tahun 1993 ia diminta menyusun tulisan klasik yang unik untuk kehormatan Al-Ghazali. Pada tahun 1994, dia diminta menggambar auditorium dan masjid ISTAC  dengan lengkap dan dekorasi interior yang bercirikan seni arsitektur Islam yang dikemas  dalam sentuhan tradisional dan gaya kosmopolitan.
Al-Attas sendiri yang telah merancang dan mendesain bangunan kampus ISTAC  tahun 1991, pada tahun 1993 ia diminta menyusun tulisan klasik yang unik untuk kehormatan  Al-Ghazali. Pada tahun 1994, dia diminta menggambar auditorium dan masjid ISTAC  dengan lengkap dan dekorasi interior yang bercirikan seni arsitektur Islam yang dikemas  dalam sentuhan tradisional dan gaya kosmopolitan.
Banyak sarjana lokal dan asing serta berkunjung yang kagum dengan keseriusan dan  cita-cita ISTAC yang telah dituangkan Al-Attas dalam desain bangunannya. Gulzar Haider,  Profesor arsitektur terkenal dari Universitas Carleton Ontario, Kanada, yang selama beberapa  tahun ikut mendiskusikan rencana pembangunan ISTAC dengan Al-Attas, telah melihat  sketsa dan desain ISTAC yang dibuat Al-Attas beserta miniaturnya. Katanya, kemampuan  imajinsi Al-Attas sangat baik dalam memilih dan menyusun kalimat dalam setiap tutur  katanya.[5]
Peranan dan posisi di Malaysia, Al-Attas merupakan seorang pakar yang handal. Dari  tahun 1970-1984, dia dipilih menjadi ketua Lembaga bahasa dan Kesusasteraan Melayu di  Universitas Kebangsaan Malaysia. Kemudian ia penah menjabat sebagai Ketua Lembaga Tun  Abdul Razak untuk Studi Asia Tenggara (Tun Abdul Razak Chair of South East Asian  Studies) di Universitas Ohio, Amerika untuk periode 1980-1982. Sejak tahun 1987, dia  menjadi pendiri ISTAC (International Institute of Islamic Tough and Civilization) Malaysia,  sekaligus menjadi rektornya.[6]
Konsep Serta Kontribusinya terhadapp Dunia Pendidikan
Corak pendidikan yang diinginkan oleh Islam ialah pendidikan yang mampu membentuk "manusia yang unggul secara intelektual, kaya dalam amal, serta anggun dalam moral dan kebijakan". Untuk meraih tujuan ini diperlukan suatu landasan filosofis pendidikan  yang sepenuhnya berangkat dari cita-cita al-Qur'an tentang manusia. Oleh karena itu,  pemikiran tentang pembaruan pendidikan Islam haruslah terlebih dahulu memperjelas kerangka filosofisnya itu.
Pada persoalan kurikulum keilmuan misalnya, selama ini pendidikan Islam masih  sering hanya dimaknai secara parsial dan tidak integral (mencakup berbagai aspek  kehidupan), sehingga  peran  pendidikan Islam di era global sering hanya difahami sebagai  pemindahan pengetahuan (knowladge) dan nila-nilai (value) ajaran Islam yang  tertuang  dalam  teks-teks  agama,  sedangkan  ilmu-ilmu social (Social Science) dan ilmu-ilmu alam  (Nature Science) dianggap pengetahuan yang umum. Padahal Islam tidak  pernah  mendikotomikan (memisahkan  dengan tanpa terikat) antara ilmu-ilmu agama  dan umum.  Semua ilmu dalam Islam dianggap penting asalkan berguna bagi kemaslahatan umat manusia.
Dalam Islam dikenal dua sistem pendidikan yang berbeda  proses dan tujuannya.  Pertama, sistem pendidikan tradisional yang hanya  sebatas mengajarkan pengetahuan klasik  dan kurang perduli terhadap peradaban teknologi modern,  ini sering  diwarnai corak pemikiran timur tengah. Kedua, sistem pendidikan modern yang diimpor dari barat yang  kurang memperdulikan keilmuan Islam klasik. Bentuk ekstrim dari bentuk kedua ini berupa  Universitas Modern yang sepenuhnya sekuler dan karena itu, pendekatannya bersifat non-agamis (dalam konsepnya Dewesternisasi). Para alumninya sering tidak menyadari warisan ilmu klasik dari tradisi mereka  sendiri.
Dapat dirasakan bahwa selama ini ada sesuatu yang kurang beres dalam dunia  pendidikan Islam dari segi konsep (kurikulum, proses, tujuan) dan aktualisasinya. Oleh  karena itu perlu adanya rekonseptualisasi, reformulasi, reformasi, rekontruksi/penataan  kembali di dalamnya. Hal ini amat perlu dilakukan, dan sebenarnya ini sudah disadari dan  diupayakan oleh para pemikir Muslim, terbukti dengan diadakannya beberapa kali konferensi  mengenai pendidikan Islam tingkat internasional.
Konferensi internasional mengenai pendidikan Islam diselenggarakan sebanyak  enam  (6) kali di beberapa Negara yang berpenduduk mayoritas muslim. Yakni Mekkah(1977),  Islamabad (1980), Dakka (1981), Jakarta (1982), Kairo (1982), Amman (1990).[7]Dalam konferensi tersebut, dibahas berbagai persoalan mendasar tentang  problem yang dialami pendidikan Islam. Juga mencari rumusan yang tepat untuk mengatasinya.
Menurut Al-attas, Islam itu harus selalu member arah terhadap hidup kita, agar umat Islam terhindar dari serbuan pengaruh Pemikiran Barat dan Orientalis yang menyesatkan. Disamping itu, al-Attas sebagai penggagas Islamisasi Ilmu sebalum al-Faruqi, berpendapat bahwa perlunya ditimbulkan kesadaran terhadap ilmu dan pendidikan dunia Islam.[8] (Badaruddin, 2007)
Gagasan besarnya tentang Islamisasi ilmu pengetahuan telah disambut positif oleh para cendikiawan muslim dunia, bahkan Ismail Raji al-Faruqi kemudian membahasnya dalam satu buku penuh.
Konsep pendidikan Islam memang menarik untuk didiskusikan dan dibahas secara mendalam, walaupun hal itu beberapa kali telah diangkat menjadi tema kajian oleh beberapa  tokoh pemikir. Di hadapan dunia akademis, tema-tema seperti itu terkesan sudah “sangat  sering”, namun dinamika pemikiran intelektual selalu tidak pernah puas dan final akan kajian  yang serupa.
Omar Muhammad al-Toumy al-Syaebani, misalnya mengartikan pendidikan Islam  sebagai usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan  kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses kependidikan,  perubahan itu dilandasi dengan nilai-nilai Islam, sehingga dapat dipahami bahwa pendidikan  Islam itu merupakan satu proses yang tidak hanya menyangkut transfer ilmu, akan tetapi  bagaimana menjadikan manusia makhluk berakhlak dengan akhlak yang baik serta dari hasil  pendidikan itu dapat membantu kehidupan diri dan kemasyarakatannya dengan berlandasan  ajaran Islam.
Pendidikan dapat diartikan sebagai upaya menjadikan manusia sebagai khalifatullah fi   Ardh yang tetap dalam keadaan menghambakan diri kepada Allah (‘Abdullah). Islam sebagai agama yang sangat memperhatikan masalah pendidikan Menginginkan corak pendidikan yang mampu membentuk "manusia yang unggul secara intelektual, kaya dalam amal, serta anggun dalam moral dan kebijakan".
Hubungan antara keduanya bersifat organis-fiingsional; pendidikan berfungsi sebagai  alat untuk mencapai tujuan Islam, dan Islam menjadi kerangka dasar pengembangan  pendidikan Islam, serta memberikan landasan sistem nilai untuk mengembangkan berbagai  pemikiran tentang pendidikan Islam. Faktor agama tampaknya memang tak dapat dipisahkan dari hubungannya dengan perilaku manusia, baik secara individu maupun secara  kelompok. Manusia mempunyai kebutuhan keagamaan yang instrinsik yang tidak dapat  dijelaskan melalui sesuatu yang mengatasinya dan yang diturunkan dari kekuatan-kekuatan  supranatural. Meskipun pendidikan merupakan suatu tindakan (action) yang diambil oleh  suatu masyarakat, kebudayaan, atau peradaban untuk memelihara kelanjutan hidupnya  (survival).
Tanpa pendidikan dapat dipastikan bahwa manusia sekarang tidak berbeda dengan  generasi manusia masa lampau. Karena itu, secara ekstrim dapat dikatakan bahwa maju  mundur atau baik buruknya peradaban suatu masyarakat atau bangsa sangat ditentukan oleh bagaimana proses pendidikan yang dijalani oleh masyarakat bangsa tersebut. Hal itu  dikarenakan, pendidikan merupakan sebuah penanaman modal manusia untuk masa depan  dengan membekali generasi muda dengan budi pekerti yang luhur dan kecakapan yang tinggi. Pendidikan Islam menurut Al-Attas adalah pengenalan dan pengalaman yang secara  berangsur-angsur ditanamkan dalam diri manusia,  tentang  tempat-tempat yang tepat dari  segala sesuatu di  dalam  tatanan penciptaan sedemikian rupa sehingga membimbing  ke  arah pengenalan dan  pengakuan  tempat Tuhan  yang tepat di dalam tatanan wujud dan  kepribadian. Jadi, pendidikan itu hanya untuk manusia saja.[9]
Pemaparan konsep pendidikan Islam dalam pandangan al-Attas lebih cenderung menggunakan istilah (lafad) ta'dib, daripada istilah-istilah lainnya.. Sekalipun istilah tarbiyah dan ta’lim telah mengakar dan mempopuler, ia menempatkan ta'dib sebagai sebuah konsep yang dianggap lebih sesuai dengan konsep pendidikan Islam. Dalam beberapa penjelasan kata ta'dib sebagaimana yang menjadi pilihan al-Attas, merupakan kata (kalimat) yang berasal  dari kata addaba yang berarti memberi adab, atau mendidik.
Dalam pandangan al-Attas, dengan menggunakan term di atas, dapat dipahami bahwa  pendidikan Islam adalah proses internalisasi dan penanaman adab pada diri manusia. Sehingga muatan substansial yang terjadi dalam kegiatan pendidikan Islam adalah interaksi  yang menanamkan adab. Seperti yang diungkapkan al-Attas, bahwa pengajaran dan proses  mempelajari ketrampilan betapa pun ilmiahnya tidak dapat diartikan sebagai pendidikan  bilamana di dalamnya tidak ditanamkan ‘sesuatu’.
Berkaitan dengan defmisi pendidikan, Al-Attas melihat bahwa saat ini telah terjadi  perusakan bahasa-bahasa Islam di masing-masing wilayah Islam, yang sebagiannya merupakan usaha sekularisasi, lewat topeng modernisasi, yang mungkin saja terjadi tanpa  sepenuhnya disadari pelaku-pelakunya. Dalam konteks ini, apa yang perlu dilakukan adalah  re-Islamisasi bahasa-bahasa tersebut. [10] (Al-Attas M. N., 1995) Oleh karena itu term pendidikan dalam bahasa Arab,  menjadi salah satu objek kajian yang akan menjadi pembicaraan Al-Attas. Term-term  tersebut adalah tarbiyah, ta'lim, dan ta'dib. Pembahasan term-term tersebut memiliki  implikasi yang signifikan terhadap pandangan Al-Attas mengenai konsep ilmu, tujuan  pendidikan, dan manusia sebagai sebuah sistem.
Penjelasan secara filosofis mengenai term-term tersebut dijelaskan oleh Syed  Muhamad Naquib Al-Attas, sekaligus memuat pandangannya mengenai hakikat pendidikan menurut Islam, dalam pandangan Syed Muhamad Naquib Al-Attas.
Salah satu konsep pendidikan yang dilontarkan Naquib, seperti ditulis dalam The  Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas (1998), yaitu  mengenai ta'dib. Dalam pandangan Naquib, masalah mendasar dalam pendidikan Islam  selama ini adalah hilangnya nilai-nilai adab (etika) dalam arti luas. Hal ini terjadi, kata  Naquib, disebabkan kerancuan dalam memahami konsep tarbiyah, ta'lim, dan ta'dib.  Naquib cenderung lebih memakai ta'dib daripada istilah tarbiyah maupun ta'lim.  Baginya, alasan mendasar memakai istilah ta'dib adalah, karena adab berkaitan erat dengan  ilmu. Ilmu tidak bisa diajarkan dan ditularkan kepada anak didik kecuali orang tersebut  memiliki adab yang tepat terhadap ilmu pengetahuan dalam pelbagai bidang.
Sementara, bila dicermati lebih mendalam, jika konsep pendidikan Islam hanya  terbatas pada tarbiyah atau ta'lim ini, telah dirasuki oleh pandangan hidup Barat yang  melandaskan nilai-nilai dualisme, sekularisme, humanisme, dan sofisme sehingga nilai-nilai  adab semakin menjadi kabur dan semakin jauh dari nilai-nilai hikmah ilahiyah. Kekaburan  makna adab atau kehancuran adab itu, dalam pandangan Naquib, menjadi sebab utama dari  kezaliman, kebodohan, dan kegilaan.
Al-Attas more accepting ta'dib, rather than taklim and tarbiyah. Because ta'dib includes more extensive, man as a subject of education that are intended to share knowledge gained can bepracticed properly and not abused by free will of the owner of the science, because science is not value-free (value free) but the fullvalue (value laden)[11]
Dalam masa sekarang ini, lazim diketahui bahwa salah satu kemunduran umat Islam  adalah di bidang pendidikan. Dari konsep ta'dib seperti dijelaskan di atas, akan ditemukan  problem mendasar kemunduran pendidikan umat Islam. Probelm itu tidak terkait masalah  buta huruf, melainkan berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang disalahartikan,  bertumpang tindih, atau diporakporanndakan oleh pandangan hidup sekular (Barat).
Akibatnya, makna ilmu itu sendiri telah bergeser jauh dari makna hakiki dalam Islam.  Fatalnya lagi, ini semua kemudian menjadi 'dalang' dari berbagai tindakan korup (merusak) dan kekerasan juga kebodohan. Lahir kemudian pada pemimpin yang tak lagi mengindahkan  adab, pengetahuan, dan nilai-nilai positif lainnya. Untuk itulah, dalam amatan Naquib, semua  kenyataan ini harus segera disudahi dengan kembali membenahi konsep dan sistem pendidikan Islam yang dijalankan selama ini.
Pada sisi lain, Al-Attas berpendapat bahwa untuk penanaman nilai-nilai spiritual, termasuk spiritual intelligent dalam pendidikan Islam, ia menekankan pentingnya pengajaran ilmu fardhu ain. Yakni, ilmu pengetahuan yang menekankan dimensi ketuhanan, intensifikasi hubungan manusia-Tuhan dan manusia-manusia, serta nilai-nilai moralitas lainnya yang membentuk cara pandang murid terhadap kehidupan dan alam semesta. Al-Attas memandang  bahwa, adanya dikotomi ilmu fardhu ain dan fardhu kifayah tidak perlu diperdebatkan.  Tetapi, pembagian tersebut harus dipandang dalam perspektif integral atau tauhid, yakni ilmu  fardhu ain sebagai asas dan rujukan bagi ilmu fardhu kifayah. Al-attas classify their knowledge into two, namely Fardh ain and Fardh kifayah. Fardh ain is the science related to religion, whereas Fardh kifayah is a science which includes rational Sciences, intellectual and philosophical.
Al-Attas menyatakan bahwa ta'lim atau pengajaran dan proses mempelajari keterampilan, betapapun ilmiahnya apa yang diajarkan dan dipelajari itu mengandung muatan ilmu, tidak selalu harus dimaknai dengan pendidikan. Karena, menurut Al-Attas dalam pendidikan itu, harus ada sesuatu yang ditanamkan bersamaan dengan diajarkannya ilmu itu dalam wahana pendidikan yang di maksud berupa penanaman nilai.
Menurut Al-Attas tarbiyah dalam konotasinya yang sekarang merupakan istilah baru, yang selalu dikaitkan pada pemikiran yang modernis. Istilah tarbiyah dengan makna pendidikan, tidak memperhatikan sifatnya yang sebenarnya. Baginya, istilah tarbiyah mencerminkan konsep Barat tentang pendidikan yang pada hakikatnya hanya mengacu pada segala sesuatu yang bersifat fisik dan material, yang tertuju kepada spesies hewan dan tidak dibatasi kepada manusia.
Sementara ta'dib atau adab menurut Al-Attas adalah disiplin tubuh, jiwa dan run. Disiplin yang menegaskan pengenalan dan pengakuan tempat yang tepat dalam hubungannya dengan kemampuan dan potensi jasmaniah, intelektual, dan ruhaniah; pengenalan dan pengakuan akan kenyataan bahwa ilmu dan wujud ditata secara hirarkis sesuai dengan berbagai tingkat (maratib) dan derajatnya (darajat).
Istilah tarbiyah, ta'lim, dan ta'dib memiliki implikasi filosofis yaitu penafsiran-penafsiran yang khas dari segi ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang berimplikasi terhadap kajian reformulasi makna hakikat pendidikan Islam.
Di antara para pemikir dan intelektual muslim dunia yang cukup produktif saat ini tercatatlah seorang tokoh keturunan Arab dan Sunda (Indonesia) yang menjadi warga negaraMalaysia, yakni Syed Muhamad Naquib Al-Attas. Selain terkenal sebagai pengkaji sejarah, teologi, filsafat dan tasawuf yang serius, ia juga terkenal sebagai pemikir pendidikan Islam yang brillian. Syed Muhamad Naquib Al-attas adalah pemikir kontemporer Muslim pertamayang mendefinisikan arti pendidikan secara sistematis.[12]
Berkaitan dengan defmisi pendidikan, Al-Attas melihat bahwa saat ini telah terjadi perusakan bahasa-bahasa Islam di masing-masing wilayah Islam, yang sebagiannya merupakan usaha sekularisasi, lewat topeng modernisasi, yang mungkin saja terjadi tanpa sepenuhnya disadari pelaku-pelakunya. Dalam konteks ini, apa yang perlu dilakukan adalah re-Islamisasi bahasa-bahasa tersebut.[13]
Oleh karena itu term pendidikan dalam bahasa Arab, menjadi salah satu objek kajian yang akan menjadi pembicaraan Al-Attas. Term-term tersebut adalah tarbiyah, ta'lim, dan ta'dib. Pembahasan term-term tersebut memiliki implikasi yang signifikan terhadap pandangan Al-Attas mengenai konsep ilmu, tujuan pendidikan, dan manusia sebagai sebuah sistem.
Penjelasan secara filosofis mengenai term-term tersebut dijelaskan oleh Syed Muhamad Naquib Al-Attas, sekaligus memuat pandangannya mengenai hakikat pendidikan menurut Islam, dalam pandangan Syed Muhamad Naquib Al-Attas.
Al-Attas menyatakan bahwa ta'lim atau pengajaran dan proses mempelajari keterampilan, betapapun ilmiahnya apa yang diajarkan dan dipelajari itu mengandung muatan ilmu, tidak selalu harus dimaknai dengan pendidikan. Karena, menurut Al-Attas dalam pendidikan itu, harus ada sesuatu yang ditanamkan bersamaan dengan diajarkannya ilmu itu dalam wahana pendidikan yang di maksud berupa penanaman nilai.
Menurut Al-Attas tarbiyah dalam konotasinya yang sekarang merupakan istilah baru, yang selalu dikaitkan pada pemikiran yang modernis. Istilah tarbiyah dengan makna pendidikan, tidak memperhatikan sifatnya yang sebenarnya. Baginya, istilah tarbiyah mencerminkan konsep Barat tentang pendidikan yang pada hakikatnya hanya mengacu pada segala sesuatu yang bersifat fisik dan material, yang tertuju kepada spesies hewan dan tidak dibatasi kepada manusia.
Sementara ta'dib atau adab menurut Al-Attas adalah disiplin tubuh, jiwa dan run.  Disiplin yang menegaskan pengenalan dan pengakuan tempat yang tepat dalam hubungannyadengan kemampuan dan potensi jasmaniah, intelektual, dan ruhaniah; pengenalan dan pengakuan akan kenyataan bahwa ilmu dan wujud ditata secara hirarkis sesuai dengan berbagai tingkat (maratib) dan derajatnya (darajat).
Istilah tarbiyah, ta'lim, dan ta'dib memiliki implikasi filosofis yaitu penafsiran-penafsiran yang khas dari segi ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang berimplikasi terhadap kajian reformulasi makna hakikat pendidikan Islam.
Al-Attas seperti yang dikutip oleh Daud[14], mengatakan bahwa orang yang terpelajar adalah orang yang baik, dan baik yang dimaksudkannya di sini adalah (adab) dalam pengertian yang menyeluruh, yang meliputi keseluruhan spiritual dan material seseorang, yang berusaha menanamkan kualitas kebaikan yang diterimanya. Oleh karena itu, orang yang benar-benar terpelajar didefinisikan Al-Attas sebagai orang yang beradab.
Selanjutnya ia menjelaskan, istilah ta'dib merupakan mashdar dari kata kerja addaba yang berarti pendidikan. Menurut Al-Attas, Adabun berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hirarkis sesuai dengan berbagai tingkat dan derajat tingkatan mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kapasitas dan potensi jasmaniah, intelektual, maupun rohaniah seseorang.
Berdasarkan pengertian Adab seperti itu, Al-Attas mendefinisikan pendidikan (menurut Islam) sebagai pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam manusia, tentang tempat-tempat yang tepat bagi segala sesuatu di dalam tatanan wujud sehingga hal ini membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud tersebut.
Bila dilihat secara seksama, pemikiran Al-Attas berawal dari keprihatinannya terhadap penyempitan makna terhadap istilah-istilah ilmiah Islam yang disebabkan oleh upaya Westernisasi, Mitologisasi, pemasukan hal-hal yang magis (gaib) dan SekularisasL Oleh karena itu, Al-Attas memberikan solusi dengan konsepnya Islamisasi dan de-westernisasi (Al-Attas S. M., 2010).
Kesimpulan
Pada dasarnya, latar belakang pemikiran pendidikan Al-Attas terkait dengan gagasannya mengenai Islamisasi ilmu. Islamisasi ilmu adalah pembersihan dari penafsiran-penafsiran yang sekuler. Adapun langkah awal metodologi pemikiran Al-Attas, sesuai dengananalisis teori metodologi filsafat pendidikan Islam, yaitu dengan menggunakan metode linguistik, pada pemikirannya mengenai tarbiyah, ta'lim dan ta'dib.
Penelitian Al-Attas mengenai tarbiyah, ta'lim, dan ta'dib, menghasilkan pemikiran bahwa hanya Ta'diblah yang layak untuk mewakili kata pendidikan dalam bahasa Arab. Pemikirannya ini berimplikasi pada pemikiran pendidikannya yang lain yaitu mengenai tujuan pendidikan Islam, ilmu dan manusia.
Epistemologi filsafat pendidikan Islam itu dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu; pertama, berdasarkan sumber penelaahan; epistemologi yang berasal dari qur'an-hadis, pemikiran tokoh, dan penelaahan dari perilaku umat Islam yang disesuaikan dengan ruang dan waktu. Kedua, berdasarkan sifatnya, secara sistemik epistemologi filsafat pendidikan Islam melalui tahapan-tahapan tertentu diantaranya perenungan (contemplation) tentang sunnatullah sebagaimana dianjurkan dalam al-Qur'anul karim, penginderaan (sensation), penyerapan (perception), penyajian (representation), konsep (concept), timbangan (judgment), dan penalaran (reasoning). Ketiga, pada aspek metodologi epistemologi filsafat pendidikan Islam dapat melalui beberapa cara yaitu metode spekulatif, normatif, konsep, linguistik, dan metode historis.
Pada dasarnya Al-Attas mempunyai epistemologi filsafat pendidikan Islam tersendiri yang sangat kontras berbeda dengan epistemologi Barat. Epistemologi Islam Al-Attas memiliki corak tersendiri dalam memahami Islam dari segi pendidikan. Menurut Al-Attas, epistemologi Islam adalah; pertama, Pandangan Islam mengenai realitas dan kebenaran dimaknai atas dasar metafisika dunia (yang tampak), dalam hal ini melalui kajian epistemologi pengetahuan sains empirik dan kajian metafisika (tak tampak). Kedua, epistemologi filsafat Pendidikan Islam berdasarkan metodologi berfikir Integralistik (tauhidi) yang menggabungkan antara metode obyektif-subyektif, historis-normatif, tekstual-kontekstual. Ketiga, Epistemologi filsafat pendidikan Islam selalu bersumber kepada wahyu (agama), yang didukung oleh akal dan intuisi. Keempat, filsafat Islam yang mengkaji ontologi metafisika selalu berimplikasi terhadap kemajuan manusia. Kelima, konsep metafisika Tuhan dalam Islam itu berbeda dengan konsep Tuhan dalam agama lain.

 

Bibliography

Al-Attas, M. N. (1995). Islam dan filsafat Sains. Bandung: Mizan.
Al-Attas, S. M. (2010). Dewesternisasi Ilmu . Dewesternisasi Ilmu Jurnal Terjemahan Alam & Tamadun Melayu 1:2 3 - 20 , 3.
Badaruddin, K. (2007). Filsafat Pendidikan Islam (Analisis Pemmikiran Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib Al-Attas). Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia: Pustaka Pelajar.
Daud, W. M. (2003). Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam Al-Attas. Bandung: Mizan.




[1] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam Al-Attas, Mizan, Bandung, 2003, hlm.48
[2] Ibid.
[3] Syed Muhamad Naquib Al-Attas banyak menghabiskan masa mudanya dengan membaca dan mendalami
manuskrip-manuskrip sejarah, sastra, dan agama, serta buku-buku klasik Barat dalam Bahasa Inggris yang
tersedia di perpustakaan keluarganya yang lain, lingkungan keluarga berpendidikan dan bahan-bahan bacaan
seperti inilah yang menjadi faktor pendukung dan pemilihan kosa kata yang tepat, yang kelak akan
mempengaruhi gaya tulisan dan tutur bahasa Melayunya. Ibid
[4] Ibid., hlm. 48
[5] Pada Congress International des Orientalist yang ke -29 di Paris pada tahun 1973 Al-Attas dipercaya
memimpin diskusi panel mengenai Islam di Asia Tenggara. Dua tahun kemudian (1975) atas kontribusinya
dalam perbandingan filsafat, dia dilantik sebagai anggota Imperial Irian Academy of Philosophy, sebuah
lembaga yang anggotanya antara lain terdiri dari beberapa orang profesor yang terkenal, seperti Henry Corbin,
Syed Hossen Nashr, dan Toshihiko Izutsu.
[6] Ibid., Daud, hlm. 50-54
[7]Ibid, Daud. hlm. 339
[8] Badaruddin, K. (2007). Filsafat Pendidikan Islam (Analisis Pemmikiran Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib Al-Attas). Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia: Pustaka Pelajar.

[9] Ibid, page 36
[10] Al-Attas, Islam dan filsafat Sains, Mizan, Bandung, 1995, hlm. 14.
[11] Ibid, Kemas page 34
[12] Ibid, Daud page 76
[13] Ibid., Al-Attas, 1995, hlm. 14
[14] Ibid, Daud page 77

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Masukkan Komentar Disini :)