Biografi Syed Muhamad Naquib Al-Attas
Syed Naquib Al-Attas dilahirkan
di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 5 September 1931. Pada waktu
Indonesia berada di bawah kolonialisme Belanda. Bila dilihat dari garis keturunannya,
Al-Attas termasuk orang yang beruntung secara inhern. Sebab dari kedua belah pihak, baik pihak ayah maupun pihak
ibu merupakan orang-orang yang berdarah biru. Ibunya yang asli Bogor itu masih keturunan
bangsawan Sunda. Sedangkan pihak ayah masih tergolong bangsawan di
Johor. Bahkan mendapat gelar sayyed yang dalam tradisi Islam orang yang mendapat gelar
tersebut merupakan keturunan langsung dari Nabi Muhammad.[1] (Daud, 2003)
Dari pihak bapak, kakek Syed Muhamad Naquib
yang bernama Syed Abdullah Ibn Muhsin
Ibn Muhamad Al-Attas adalah seorang wali yang pengaruhnya tidak hanya terasa di
Indonesia, tetapi juga sampai ke negeri
Arab. Muridnya, Syed Hasan Fad'ak, kawan Lawrence of Arabia, dilantik menjadi penasihat
agama Amir Faisal, Saudara Raja Abdullah dari Yordania. Neneknya, Ruqayah Hanum, adalah
wanita Turki berdarah aristokrat yang menikah
dengan Ungku Abdul Majid, adik Sultan Abu Bakar Johor (w.1895) yang menikah dengan adik Ruqayah Hanum, Khadijah, yang
kemudian menjadi Ratu Johor.[2]
Di sini ia kemudian melanjutkan pendidikan di
sekolah Al-Urwatul-Wutsqa, Sukabumi
selama lima tahun. Di tempat ini, Al-Attas mulai mendalami dan mendapatkan pemahaman tradisi Islam yang kuat, terutama
tarekat. Hal ini bisa dipahami, karena saat itu, di Sukabumi telah berkembang perkumpulan
tarekat Naqsabandiyah.[3]
Setelah perang dunia II pada tahun 1946
Al-Attas kembali ke Johor untuk merampungkan pendidikannya, pertama di bukit
Zahrah School kemudian di English College.
Setelah menamatkan sekolah menengah pada 1951, Al-Attas mendaftar di Resimen Melayu sebagai kader dengan nomor 6675.
Al-Attas dipilih oleh jenderal Sir Gerald Templer ketika itu menjabat sebagai
British High Commisioner di Malaya, -untuk mengikuti pendidikan militer pertama di Eton Hall,
Chester, Wales, kemudian di Royald Military Academy, Sandhurst, Inggris (1952-1955).
Selama di Inggris, dia berusaha memahami aspek aspek yang mempengaruhi semangat
dan gaya hidup masyarakat Inggris. Ketika di Sandhurst, dia membina persahabatan dengan
beberapa orang peserta pendidikan yang lain, satu diantaranya adalah Syarif Zaid ibn
Syakir, keponakan Raja Hussein dari Yordania yang kelak akan menjadi Kepala Militer kemudian
Perdana Menteri Yordania.[4]
Terusik oleh panggilan nuraninya untuk
mengamalkan ilmunya yang telah diperolehnya
di Sukabumi, sekembalinya ke Malaysia Al-Attas memasuki dunia militer dengan mendaftarkan diri sebagai tentara
kerajaan dalam upaya mengusir penjajah Jepang. Dalam bidang kemiliteran ini Al-Attas telah
menunjukkan kelasnya, sehingga atasannya memilih dia sebagai salah satu peserta
pendidikan militer yang lebih tinggi. Dia belajar di berbagai sekolah militer
di Inggris. Bahkan ia sempat mengenyam pendidikan akademi militer yang cukup bergengsi di Inggris.
Setelah Malaysia merdeka (1957), Al-Attas
mengundurkan diri dari dinas militer dan mengembangkan potensi dasarnya yakni bidang
intelektual. Untuk itu, Al-Attas dapat masuk Universitas Malaya selama dua tahun. Al-Attas
telah menulis dua buku ketika di Universitas Malaya, buku yang pertama adalah Rangkaian
Ruba'iyat, termasuk diantaranya adalah karya sastra pertama yang dicetak Dewan Bahasa dan
Pustaka, Kuala Lumpur pada 1959. buku yang
kedua, yang menjadi karya klasik, adalah some aspect of shufism as Understood
and practiced among the Malays, yang
diterbitkan Lembaga Penelitian Sosiologi Malaysia pada tahun 1963, sedemikian berharganya buku yang
kedua ini sehingga tahun 1959 pemerintahan Kanada melalui Canada Councill Fellowship,
memberinya beasiswa selama tiga tahun, terhitung
sejak tahun 1960, berkat kecerdasan dan ketekunannya, dia dikirim oleh pemerintah
Malaysia untuk melanjutkan studi di
Institute of Islamic Studies, McGill University, Canada. Dalam waktu yang relatif singkat, yakni
1959-1962, ia memperoleh gelar Master dengan tesis Al-Raniriy and the Wujudiyah of the 17
Century Aceh. Dia sangat tertarik dengan praktik sufi yang berkembang di Indonesia dan
Malaysia, sehingga wajar bila tesis yang diangkat adalah konsep wujudiyah Al Raniry.
Salah satunya adalah dia ingin membuktikan bahwa Islamisasi yang berkembang di kawasan
tersebut bukan dilaksanakan oleh kolonial Belanda, melainkan murni dari upaya umat Islam
sendiri.
Belum puas dengan pengembaraan intelektualnya,
Al-Attas kemudian melanjutkan studi ke
School of Oriental and African Studies di Universitas London. Disinilah di
bawah bimbingan Profesor Arbery dan Dr.
Martin Lings, seorang profesor asal Inggris yang mempunyai pengaruh besar dalam diri Al-Attas
walaupun hanya terbatas pada tataran metodologis.
Selama kurang lebih dua tahun (1963-1965), dengan bimbingan Martin Lings, Al-Attas menyelesaikan kuliahnya dan
mempertahankan disertasinya yang berjudul The Mysticism of Hamzah Fanshuri dengan nilai yang
sangat memuaskan. Disertasi tersebut merupakan
karya terpenting dan komprehensif mengenai Hamzah Fansuri, sufi terbesar atau bahkan sangat kontroversial di dunia Melayu.
Al-Attas kembali ke Malaysia pada tahun 1965,
termasuk hanya beberapa orang malaysia
yang memperoleh gelar Doctor of Philosophy dan yang mendapatkannya dari Universitas London, sekembalinya ke Malaysia,
Al-Attas dilantik menjadi ketua Jurusan sastra
di Fakultas kajian Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur. Dari tahun 1968
sampai pada 1970, dia menjabat sebagai
Dekan Fakultas Sastra di kampus yang sama.
Memasuki tahapan pengabdian kepada Islam,
Al-Attas memulai dengan jabatan di jurusan
Kajian Melayu pada Universitas Malaya. Hal ini dilaksanakan tahun 1966-1970. Di
sini dia menekankan arti pentingnya
kajian sejarah Melayu, sebab mengkaji sejarah Melayu dengan sendirinya juga mendalami proses
Islamisasi di Indonesia dan Malaysia. Karya-karya pujangga Melayu banyak yang
berisi ajaran-ajaran Islam terutama tasawuf. Pada tahun 1970, dalam
kapasitasnya sebagai salah seorang pendiri senior Universitas kebangsaan
Malaysia (UKM), tidak bisa terlepas dari peranannya. Karena Al-Attas sangat intensif dalam memasyarakatkan budaya Melayu,
maka bahasa pengantar yang digunakan dalam
Universitas tersebut adalah bahasa Melayu. Hal ini, oleh Al-Attas dimaksudkan
agar d samping melestarikan nilai-nilai keislaman juga menggali akar tradisi
intelektual Melayu yang sarat dengan
nilai Islam. Bahkan pada pertengahan tahun 70-an Al-Attas menentang keras kebijaksanaan pemerintah yang berupaya
menghilangkan pengajaran Bahasa Melayu (Jawi),
di pendidikan dasar dan lanjutan Malaysia. Sebab, dengan penghilangan tersebut berarti telah terjadi penghapusan sarana
Islamisasi yang paling strategis.
Al-Attas sendiri yang telah merancang dan
mendesain bangunan kampus ISTAC tahun
1991, pada tahun 1993 ia diminta menyusun tulisan klasik yang unik untuk
kehormatan Al-Ghazali. Pada tahun 1994, dia diminta menggambar auditorium dan
masjid ISTAC dengan lengkap dan dekorasi
interior yang bercirikan seni arsitektur Islam yang dikemas dalam sentuhan tradisional dan gaya
kosmopolitan.
Al-Attas sendiri yang telah merancang dan
mendesain bangunan kampus ISTAC tahun
1991, pada tahun 1993 ia diminta menyusun tulisan klasik yang unik untuk
kehormatan Al-Ghazali. Pada tahun 1994,
dia diminta menggambar auditorium dan masjid ISTAC dengan lengkap dan dekorasi interior yang
bercirikan seni arsitektur Islam yang dikemas dalam sentuhan tradisional dan gaya
kosmopolitan.
Banyak sarjana lokal dan asing serta berkunjung
yang kagum dengan keseriusan dan cita-cita
ISTAC yang telah dituangkan Al-Attas dalam desain bangunannya. Gulzar Haider, Profesor arsitektur terkenal dari Universitas
Carleton Ontario, Kanada, yang selama beberapa tahun ikut mendiskusikan rencana pembangunan
ISTAC dengan Al-Attas, telah melihat sketsa
dan desain ISTAC yang dibuat Al-Attas beserta miniaturnya. Katanya, kemampuan imajinsi Al-Attas sangat baik dalam memilih
dan menyusun kalimat dalam setiap tutur katanya.[5]
Peranan dan posisi di Malaysia, Al-Attas
merupakan seorang pakar yang handal. Dari tahun 1970-1984, dia dipilih menjadi ketua
Lembaga bahasa dan Kesusasteraan Melayu di Universitas Kebangsaan Malaysia. Kemudian ia
penah menjabat sebagai Ketua Lembaga Tun Abdul Razak untuk Studi Asia Tenggara (Tun
Abdul Razak Chair of South East Asian Studies)
di Universitas Ohio, Amerika untuk periode 1980-1982. Sejak tahun 1987, dia menjadi pendiri ISTAC (International Institute
of Islamic Tough and Civilization) Malaysia, sekaligus menjadi rektornya.[6]
Konsep Serta Kontribusinya terhadapp Dunia
Pendidikan
Corak pendidikan yang diinginkan oleh Islam
ialah pendidikan yang mampu membentuk "manusia yang unggul secara
intelektual, kaya dalam amal, serta anggun dalam moral dan kebijakan".
Untuk meraih tujuan ini diperlukan suatu landasan filosofis pendidikan yang sepenuhnya berangkat dari cita-cita
al-Qur'an tentang manusia. Oleh karena itu, pemikiran tentang pembaruan pendidikan Islam
haruslah terlebih dahulu memperjelas kerangka filosofisnya itu.
Pada persoalan kurikulum keilmuan misalnya,
selama ini pendidikan Islam masih sering
hanya dimaknai secara parsial dan tidak integral (mencakup berbagai aspek kehidupan), sehingga peran
pendidikan Islam di era global sering hanya difahami sebagai pemindahan pengetahuan (knowladge) dan
nila-nilai (value) ajaran Islam yang
tertuang dalam teks-teks
agama, sedangkan ilmu-ilmu social (Social Science) dan
ilmu-ilmu alam (Nature Science) dianggap
pengetahuan yang umum. Padahal Islam tidak
pernah mendikotomikan
(memisahkan dengan tanpa terikat) antara
ilmu-ilmu agama dan umum. Semua ilmu dalam Islam dianggap penting
asalkan berguna bagi kemaslahatan umat manusia.
Dalam Islam dikenal dua sistem pendidikan yang
berbeda proses dan tujuannya. Pertama, sistem pendidikan tradisional yang
hanya sebatas mengajarkan pengetahuan
klasik dan kurang perduli terhadap
peradaban teknologi modern, ini
sering diwarnai corak pemikiran timur
tengah. Kedua, sistem pendidikan modern yang diimpor dari barat yang kurang memperdulikan keilmuan Islam klasik.
Bentuk ekstrim dari bentuk kedua ini berupa Universitas Modern yang sepenuhnya sekuler dan
karena itu, pendekatannya bersifat non-agamis (dalam konsepnya Dewesternisasi).
Para alumninya sering tidak menyadari warisan ilmu klasik dari tradisi mereka sendiri.
Dapat dirasakan bahwa selama ini ada sesuatu yang
kurang beres dalam dunia pendidikan
Islam dari segi konsep (kurikulum, proses, tujuan) dan aktualisasinya. Oleh karena itu perlu adanya rekonseptualisasi,
reformulasi, reformasi, rekontruksi/penataan kembali di dalamnya. Hal ini amat perlu
dilakukan, dan sebenarnya ini sudah disadari dan diupayakan oleh para pemikir Muslim, terbukti
dengan diadakannya beberapa kali konferensi mengenai pendidikan Islam tingkat
internasional.
Konferensi internasional mengenai pendidikan
Islam diselenggarakan sebanyak enam (6) kali di beberapa Negara yang berpenduduk
mayoritas muslim. Yakni Mekkah(1977), Islamabad
(1980), Dakka (1981), Jakarta (1982), Kairo (1982), Amman (1990).[7]Dalam
konferensi tersebut, dibahas berbagai persoalan mendasar tentang problem yang dialami pendidikan Islam. Juga
mencari rumusan yang tepat untuk mengatasinya.
Menurut Al-attas, Islam itu harus selalu member
arah terhadap hidup kita, agar umat Islam terhindar dari serbuan pengaruh
Pemikiran Barat dan Orientalis yang menyesatkan. Disamping itu, al-Attas
sebagai penggagas Islamisasi Ilmu sebalum al-Faruqi, berpendapat bahwa perlunya
ditimbulkan kesadaran terhadap ilmu dan pendidikan dunia Islam.[8] (Badaruddin,
2007)
Gagasan besarnya tentang Islamisasi ilmu
pengetahuan telah disambut positif oleh para cendikiawan muslim dunia, bahkan
Ismail Raji al-Faruqi kemudian membahasnya dalam satu buku penuh.
Konsep pendidikan Islam memang menarik untuk
didiskusikan dan dibahas secara mendalam, walaupun hal itu beberapa kali telah
diangkat menjadi tema kajian oleh beberapa tokoh pemikir. Di hadapan dunia akademis,
tema-tema seperti itu terkesan sudah “sangat sering”, namun dinamika pemikiran intelektual
selalu tidak pernah puas dan final akan kajian yang serupa.
Omar Muhammad al-Toumy al-Syaebani, misalnya
mengartikan pendidikan Islam sebagai
usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam
sekitarnya melalui proses kependidikan, perubahan
itu dilandasi dengan nilai-nilai Islam, sehingga dapat dipahami bahwa
pendidikan Islam itu merupakan satu
proses yang tidak hanya menyangkut transfer ilmu, akan tetapi bagaimana menjadikan manusia makhluk berakhlak
dengan akhlak yang baik serta dari hasil pendidikan itu dapat membantu kehidupan diri
dan kemasyarakatannya dengan berlandasan ajaran Islam.
Pendidikan dapat diartikan sebagai upaya
menjadikan manusia sebagai khalifatullah fi
Ardh yang tetap dalam keadaan
menghambakan diri kepada Allah (‘Abdullah). Islam sebagai agama yang sangat
memperhatikan masalah pendidikan Menginginkan corak pendidikan yang mampu
membentuk "manusia yang unggul secara intelektual, kaya dalam amal, serta anggun
dalam moral dan kebijakan".
Hubungan antara keduanya bersifat
organis-fiingsional; pendidikan berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan Islam, dan Islam
menjadi kerangka dasar pengembangan pendidikan
Islam, serta memberikan landasan sistem nilai untuk mengembangkan berbagai pemikiran tentang pendidikan Islam. Faktor
agama tampaknya memang tak dapat dipisahkan dari hubungannya dengan perilaku
manusia, baik secara individu maupun secara kelompok. Manusia mempunyai kebutuhan
keagamaan yang instrinsik yang tidak dapat dijelaskan melalui sesuatu yang mengatasinya
dan yang diturunkan dari kekuatan-kekuatan supranatural. Meskipun pendidikan merupakan
suatu tindakan (action) yang diambil oleh suatu masyarakat, kebudayaan, atau peradaban
untuk memelihara kelanjutan hidupnya (survival).
Tanpa pendidikan dapat dipastikan bahwa manusia
sekarang tidak berbeda dengan generasi
manusia masa lampau. Karena itu, secara ekstrim dapat dikatakan bahwa maju mundur atau baik buruknya peradaban suatu
masyarakat atau bangsa sangat ditentukan oleh bagaimana proses pendidikan yang
dijalani oleh masyarakat bangsa tersebut. Hal itu dikarenakan, pendidikan merupakan sebuah
penanaman modal manusia untuk masa depan dengan membekali generasi muda dengan budi
pekerti yang luhur dan kecakapan yang tinggi. Pendidikan Islam menurut Al-Attas
adalah pengenalan dan pengalaman yang secara berangsur-angsur ditanamkan dalam diri
manusia, tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam
tatanan penciptaan sedemikian rupa sehingga membimbing ke arah
pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan
yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian. Jadi, pendidikan itu hanya untuk
manusia saja.[9]
Pemaparan konsep pendidikan Islam dalam
pandangan al-Attas lebih cenderung menggunakan istilah (lafad) ta'dib, daripada
istilah-istilah lainnya.. Sekalipun istilah tarbiyah dan ta’lim telah mengakar
dan mempopuler, ia menempatkan ta'dib sebagai sebuah konsep yang dianggap lebih
sesuai dengan konsep pendidikan Islam. Dalam beberapa penjelasan kata ta'dib
sebagaimana yang menjadi pilihan al-Attas, merupakan kata (kalimat) yang
berasal dari kata addaba yang berarti
memberi adab, atau mendidik.
Dalam pandangan al-Attas, dengan menggunakan
term di atas, dapat dipahami bahwa pendidikan
Islam adalah proses internalisasi dan penanaman adab pada diri manusia. Sehingga
muatan substansial yang terjadi dalam kegiatan pendidikan Islam adalah
interaksi yang menanamkan adab. Seperti
yang diungkapkan al-Attas, bahwa pengajaran dan proses mempelajari ketrampilan betapa pun ilmiahnya
tidak dapat diartikan sebagai pendidikan bilamana di dalamnya tidak ditanamkan
‘sesuatu’.
Berkaitan dengan defmisi pendidikan, Al-Attas
melihat bahwa saat ini telah terjadi perusakan
bahasa-bahasa Islam di masing-masing wilayah Islam, yang sebagiannya merupakan
usaha sekularisasi, lewat topeng modernisasi, yang mungkin saja terjadi tanpa sepenuhnya disadari pelaku-pelakunya. Dalam
konteks ini, apa yang perlu dilakukan adalah re-Islamisasi bahasa-bahasa tersebut. [10]
(Al-Attas M. N., 1995) Oleh karena itu term
pendidikan dalam bahasa Arab, menjadi
salah satu objek kajian yang akan menjadi pembicaraan Al-Attas. Term-term tersebut adalah tarbiyah, ta'lim, dan ta'dib.
Pembahasan term-term tersebut memiliki implikasi
yang signifikan terhadap pandangan Al-Attas mengenai konsep ilmu, tujuan pendidikan, dan manusia sebagai sebuah sistem.
Penjelasan secara filosofis mengenai term-term
tersebut dijelaskan oleh Syed Muhamad
Naquib Al-Attas, sekaligus memuat pandangannya mengenai hakikat pendidikan menurut
Islam, dalam pandangan Syed Muhamad Naquib Al-Attas.
Salah satu konsep pendidikan yang dilontarkan
Naquib, seperti ditulis dalam The Educational
Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas (1998), yaitu mengenai ta'dib. Dalam pandangan Naquib,
masalah mendasar dalam pendidikan Islam selama
ini adalah hilangnya nilai-nilai adab (etika) dalam arti luas. Hal ini terjadi,
kata Naquib, disebabkan kerancuan dalam
memahami konsep tarbiyah, ta'lim, dan ta'dib. Naquib cenderung lebih memakai ta'dib daripada
istilah tarbiyah maupun ta'lim. Baginya,
alasan mendasar memakai istilah ta'dib adalah, karena adab berkaitan erat
dengan ilmu. Ilmu tidak bisa diajarkan
dan ditularkan kepada anak didik kecuali orang tersebut memiliki adab yang tepat terhadap ilmu
pengetahuan dalam pelbagai bidang.
Sementara, bila dicermati lebih mendalam, jika
konsep pendidikan Islam hanya terbatas
pada tarbiyah atau ta'lim ini, telah dirasuki oleh pandangan hidup Barat yang melandaskan nilai-nilai dualisme, sekularisme,
humanisme, dan sofisme sehingga nilai-nilai adab semakin menjadi kabur dan semakin jauh
dari nilai-nilai hikmah ilahiyah. Kekaburan makna adab atau kehancuran adab itu, dalam
pandangan Naquib, menjadi sebab utama dari kezaliman, kebodohan, dan kegilaan.
Al-Attas more accepting ta'dib, rather than
taklim and tarbiyah. Because ta'dib includes more extensive, man as a subject
of education that are intended to share knowledge gained can bepracticed
properly and not abused by free will of the owner of the science, because
science is not value-free (value free) but the fullvalue (value laden)[11]
Dalam masa sekarang ini, lazim diketahui bahwa
salah satu kemunduran umat Islam adalah
di bidang pendidikan. Dari konsep ta'dib seperti dijelaskan di atas, akan
ditemukan problem mendasar kemunduran
pendidikan umat Islam. Probelm itu tidak terkait masalah buta huruf, melainkan berhubungan dengan ilmu
pengetahuan yang disalahartikan, bertumpang
tindih, atau diporakporanndakan oleh pandangan hidup sekular (Barat).
Akibatnya, makna ilmu itu sendiri telah
bergeser jauh dari makna hakiki dalam Islam. Fatalnya lagi, ini semua kemudian menjadi
'dalang' dari berbagai tindakan korup (merusak) dan kekerasan juga kebodohan.
Lahir kemudian pada pemimpin yang tak lagi mengindahkan adab, pengetahuan, dan nilai-nilai positif
lainnya. Untuk itulah, dalam amatan Naquib, semua kenyataan ini harus segera disudahi dengan
kembali membenahi konsep dan sistem pendidikan Islam yang dijalankan selama
ini.
Pada sisi lain, Al-Attas berpendapat bahwa
untuk penanaman nilai-nilai spiritual, termasuk spiritual intelligent dalam
pendidikan Islam, ia menekankan pentingnya pengajaran ilmu fardhu ain. Yakni,
ilmu pengetahuan yang menekankan dimensi ketuhanan, intensifikasi hubungan
manusia-Tuhan dan manusia-manusia, serta nilai-nilai moralitas lainnya yang membentuk
cara pandang murid terhadap kehidupan dan alam semesta. Al-Attas memandang bahwa, adanya dikotomi ilmu fardhu ain dan
fardhu kifayah tidak perlu diperdebatkan. Tetapi, pembagian tersebut harus dipandang
dalam perspektif integral atau tauhid, yakni ilmu fardhu ain sebagai asas dan rujukan bagi ilmu
fardhu kifayah. Al-attas classify their knowledge into two, namely Fardh ain
and Fardh kifayah. Fardh ain is the science related to religion, whereas Fardh
kifayah is a science which includes rational Sciences, intellectual and
philosophical.
Al-Attas menyatakan bahwa ta'lim atau
pengajaran dan proses mempelajari keterampilan, betapapun ilmiahnya apa yang
diajarkan dan dipelajari itu mengandung muatan ilmu, tidak selalu harus
dimaknai dengan pendidikan. Karena, menurut Al-Attas dalam pendidikan itu,
harus ada sesuatu yang ditanamkan bersamaan dengan diajarkannya ilmu itu dalam
wahana pendidikan yang di maksud berupa penanaman nilai.
Menurut Al-Attas tarbiyah dalam konotasinya
yang sekarang merupakan istilah baru, yang selalu dikaitkan pada pemikiran yang
modernis. Istilah tarbiyah dengan makna pendidikan, tidak memperhatikan
sifatnya yang sebenarnya. Baginya, istilah tarbiyah mencerminkan konsep Barat
tentang pendidikan yang pada hakikatnya hanya mengacu pada segala sesuatu yang
bersifat fisik dan material, yang tertuju kepada spesies hewan dan tidak dibatasi
kepada manusia.
Sementara ta'dib atau adab menurut Al-Attas
adalah disiplin tubuh, jiwa dan run. Disiplin yang menegaskan pengenalan dan
pengakuan tempat yang tepat dalam hubungannya dengan kemampuan dan potensi
jasmaniah, intelektual, dan ruhaniah; pengenalan dan pengakuan akan kenyataan
bahwa ilmu dan wujud ditata secara hirarkis sesuai dengan berbagai tingkat (maratib)
dan derajatnya (darajat).
Istilah tarbiyah, ta'lim, dan ta'dib memiliki
implikasi filosofis yaitu penafsiran-penafsiran yang khas dari segi ontologis,
epistemologis, dan aksiologis yang berimplikasi terhadap kajian reformulasi
makna hakikat pendidikan Islam.
Di antara para pemikir dan intelektual muslim
dunia yang cukup produktif saat ini tercatatlah seorang tokoh keturunan Arab
dan Sunda (Indonesia) yang menjadi warga negaraMalaysia, yakni Syed Muhamad
Naquib Al-Attas. Selain terkenal sebagai pengkaji sejarah, teologi, filsafat
dan tasawuf yang serius, ia juga terkenal sebagai pemikir pendidikan Islam yang
brillian. Syed Muhamad Naquib Al-attas adalah pemikir kontemporer Muslim
pertamayang mendefinisikan arti pendidikan secara sistematis.[12]
Berkaitan dengan defmisi pendidikan, Al-Attas
melihat bahwa saat ini telah terjadi perusakan bahasa-bahasa Islam di
masing-masing wilayah Islam, yang sebagiannya merupakan usaha sekularisasi,
lewat topeng modernisasi, yang mungkin saja terjadi tanpa sepenuhnya disadari
pelaku-pelakunya. Dalam konteks ini, apa yang perlu dilakukan adalah re-Islamisasi
bahasa-bahasa tersebut.[13]
Oleh karena itu term pendidikan dalam bahasa
Arab, menjadi salah satu objek kajian yang akan menjadi pembicaraan Al-Attas.
Term-term tersebut adalah tarbiyah, ta'lim, dan ta'dib. Pembahasan term-term
tersebut memiliki implikasi yang signifikan terhadap pandangan Al-Attas
mengenai konsep ilmu, tujuan pendidikan, dan manusia sebagai sebuah sistem.
Penjelasan secara filosofis mengenai term-term
tersebut dijelaskan oleh Syed Muhamad Naquib Al-Attas, sekaligus memuat
pandangannya mengenai hakikat pendidikan menurut Islam, dalam pandangan Syed
Muhamad Naquib Al-Attas.
Al-Attas menyatakan bahwa ta'lim atau
pengajaran dan proses mempelajari keterampilan, betapapun ilmiahnya apa yang
diajarkan dan dipelajari itu mengandung muatan ilmu, tidak selalu harus
dimaknai dengan pendidikan. Karena, menurut Al-Attas dalam pendidikan itu,
harus ada sesuatu yang ditanamkan bersamaan dengan diajarkannya ilmu itu dalam
wahana pendidikan yang di maksud berupa penanaman nilai.
Menurut Al-Attas tarbiyah dalam konotasinya
yang sekarang merupakan istilah baru, yang selalu dikaitkan pada pemikiran yang
modernis. Istilah tarbiyah dengan makna pendidikan, tidak memperhatikan
sifatnya yang sebenarnya. Baginya, istilah tarbiyah mencerminkan konsep Barat
tentang pendidikan yang pada hakikatnya hanya mengacu pada segala sesuatu yang
bersifat fisik dan material, yang tertuju kepada spesies hewan dan tidak dibatasi
kepada manusia.
Sementara ta'dib atau adab menurut Al-Attas
adalah disiplin tubuh, jiwa dan run. Disiplin
yang menegaskan pengenalan dan pengakuan tempat yang tepat dalam hubungannyadengan
kemampuan dan potensi jasmaniah, intelektual, dan ruhaniah; pengenalan dan pengakuan
akan kenyataan bahwa ilmu dan wujud ditata secara hirarkis sesuai dengan berbagai
tingkat (maratib) dan derajatnya (darajat).
Istilah tarbiyah, ta'lim, dan ta'dib memiliki
implikasi filosofis yaitu penafsiran-penafsiran yang khas dari segi ontologis,
epistemologis, dan aksiologis yang berimplikasi terhadap kajian reformulasi
makna hakikat pendidikan Islam.
Al-Attas seperti yang dikutip oleh Daud[14],
mengatakan bahwa orang yang terpelajar adalah orang yang baik, dan baik yang
dimaksudkannya di sini adalah (adab) dalam pengertian yang menyeluruh, yang
meliputi keseluruhan spiritual dan material seseorang, yang berusaha menanamkan
kualitas kebaikan yang diterimanya. Oleh karena itu, orang yang benar-benar
terpelajar didefinisikan Al-Attas sebagai orang yang beradab.
Selanjutnya ia menjelaskan, istilah ta'dib
merupakan mashdar dari kata kerja addaba yang berarti pendidikan. Menurut
Al-Attas, Adabun berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa
pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hirarkis sesuai dengan berbagai
tingkat dan derajat tingkatan mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat
dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kapasitas dan potensi
jasmaniah, intelektual, maupun rohaniah seseorang.
Berdasarkan pengertian Adab seperti itu,
Al-Attas mendefinisikan pendidikan (menurut Islam) sebagai pengenalan dan
pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam manusia, tentang
tempat-tempat yang tepat bagi segala sesuatu di dalam tatanan wujud sehingga
hal ini membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di
dalam tatanan wujud tersebut.
Bila dilihat secara seksama, pemikiran Al-Attas
berawal dari keprihatinannya terhadap penyempitan makna terhadap istilah-istilah
ilmiah Islam yang disebabkan oleh upaya Westernisasi, Mitologisasi, pemasukan
hal-hal yang magis (gaib) dan SekularisasL Oleh karena itu, Al-Attas memberikan
solusi dengan konsepnya Islamisasi dan de-westernisasi (Al-Attas S. M., 2010) .
Kesimpulan
Pada dasarnya, latar belakang pemikiran
pendidikan Al-Attas terkait dengan gagasannya mengenai Islamisasi ilmu.
Islamisasi ilmu adalah pembersihan dari penafsiran-penafsiran yang sekuler.
Adapun langkah awal metodologi pemikiran Al-Attas, sesuai dengananalisis teori
metodologi filsafat pendidikan Islam, yaitu dengan menggunakan metode linguistik,
pada pemikirannya mengenai tarbiyah, ta'lim dan ta'dib.
Penelitian Al-Attas mengenai tarbiyah, ta'lim,
dan ta'dib, menghasilkan pemikiran bahwa hanya Ta'diblah yang layak untuk mewakili
kata pendidikan dalam bahasa Arab. Pemikirannya ini berimplikasi pada pemikiran
pendidikannya yang lain yaitu mengenai tujuan pendidikan Islam, ilmu dan
manusia.
Epistemologi filsafat pendidikan Islam itu
dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu; pertama, berdasarkan sumber penelaahan;
epistemologi yang berasal dari qur'an-hadis, pemikiran tokoh, dan penelaahan
dari perilaku umat Islam yang disesuaikan dengan ruang dan waktu. Kedua,
berdasarkan sifatnya, secara sistemik epistemologi filsafat pendidikan Islam
melalui tahapan-tahapan tertentu diantaranya perenungan (contemplation) tentang
sunnatullah sebagaimana dianjurkan dalam al-Qur'anul karim, penginderaan
(sensation), penyerapan (perception), penyajian (representation), konsep
(concept), timbangan (judgment), dan penalaran (reasoning). Ketiga, pada aspek
metodologi epistemologi filsafat pendidikan Islam dapat melalui beberapa cara
yaitu metode spekulatif, normatif, konsep, linguistik, dan metode historis.
Pada dasarnya Al-Attas mempunyai epistemologi
filsafat pendidikan Islam tersendiri yang sangat kontras berbeda dengan
epistemologi Barat. Epistemologi Islam Al-Attas memiliki corak tersendiri dalam
memahami Islam dari segi pendidikan. Menurut Al-Attas, epistemologi Islam
adalah; pertama, Pandangan Islam mengenai realitas dan kebenaran dimaknai atas
dasar metafisika dunia (yang tampak), dalam hal ini melalui kajian epistemologi
pengetahuan sains empirik dan kajian metafisika (tak tampak). Kedua, epistemologi
filsafat Pendidikan Islam berdasarkan metodologi berfikir Integralistik
(tauhidi) yang menggabungkan antara metode obyektif-subyektif,
historis-normatif, tekstual-kontekstual. Ketiga, Epistemologi filsafat
pendidikan Islam selalu bersumber kepada wahyu (agama), yang didukung oleh akal
dan intuisi. Keempat, filsafat Islam yang mengkaji ontologi metafisika selalu
berimplikasi terhadap kemajuan manusia. Kelima, konsep metafisika Tuhan dalam
Islam itu berbeda dengan konsep Tuhan dalam agama lain.
Bibliography
Al-Attas, M. N. (1995). Islam
dan filsafat Sains. Bandung: Mizan.
Al-Attas, S. M. (2010). Dewesternisasi Ilmu . Dewesternisasi
Ilmu Jurnal Terjemahan Alam & Tamadun Melayu 1:2 3 - 20 , 3.
Badaruddin, K. (2007). Filsafat Pendidikan Islam
(Analisis Pemmikiran Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib Al-Attas).
Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia: Pustaka Pelajar.
Daud, W. M. (2003). Filsafat dan Praktek Pendidikan
Islam Al-Attas. Bandung: Mizan.
[1] Wan Mohd
Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam Al-Attas, Mizan, Bandung,
2003, hlm.48
[2] Ibid.
[3] Syed
Muhamad Naquib Al-Attas banyak menghabiskan masa mudanya dengan membaca dan
mendalami
manuskrip-manuskrip sejarah, sastra, dan agama, serta
buku-buku klasik Barat dalam Bahasa Inggris yang
tersedia di perpustakaan keluarganya yang lain,
lingkungan keluarga berpendidikan dan bahan-bahan bacaan
seperti inilah yang menjadi faktor pendukung dan
pemilihan kosa kata yang tepat, yang kelak akan
mempengaruhi gaya tulisan dan tutur bahasa Melayunya.
Ibid
[4] Ibid.,
hlm. 48
[5] Pada
Congress International des Orientalist yang ke -29 di Paris pada tahun 1973
Al-Attas dipercaya
memimpin diskusi panel mengenai Islam di Asia
Tenggara. Dua tahun kemudian (1975) atas kontribusinya
dalam perbandingan filsafat, dia dilantik sebagai
anggota Imperial Irian Academy of Philosophy, sebuah
lembaga yang anggotanya antara lain terdiri dari
beberapa orang profesor yang terkenal, seperti Henry Corbin,
Syed Hossen Nashr, dan Toshihiko Izutsu.
[6] Ibid.,
Daud, hlm. 50-54
[8] Badaruddin,
K. (2007). Filsafat Pendidikan Islam (Analisis Pemmikiran Prof. Dr. Syed
Muhammad Naquib Al-Attas). Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia: Pustaka Pelajar.
[10] Al-Attas, Islam dan filsafat Sains,
Mizan, Bandung, 1995, hlm. 14.
[13] Ibid.,
Al-Attas, 1995, hlm. 14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Masukkan Komentar Disini :)