Rabu, 14 Desember 2011

Dewesternisasi Ilmu Jurnal Terjemahan Alam & Tamadun Melayu (Indonesian)



3 Dewesternisasi Ilmu Jurnal Terjemahan Alam & Tamadun Melayu 1:2 (2010) 3 - 20
Dewesternisasi Ilmu
Syed Muhammad Naquib Al-ATTAS


PENDAHULUAN


Banyak tantangan telah muncul di tengah-tengah kebingungan manusia di sepanjang sejarah, tetapi barangkali tidak ada yang lebih serius dan lebih merusak ke atas manusia dari tantangan yang dibawa peradaban Barat hari ini. Saya berani mengatakan tantangan terbesar yang muncul secara diam-diam pada zaman kita adalah tantangan ilmu, sesungguhnya bukan sebagai lawan kebodohan, tetapi ilmu yang dipahami dan disebarkan ke seluruh dunia oleh peradaban Barat; hakikat ilmu telah menjadi bermasalah karena ia telah kehilangan tujuan hakikinya akibat dari pemahaman yang tidak adil. Ilmu yang seharusnya menciptakan keadilan dan perdamaian, justru membawa kekacauan dalam kehidupan manusia; ilmu yang terkesan nyata, namun justru menghasilkan kebingungan dan skeptisisme, yang mengangkat keraguan dan dugaan ke derajat 'ilmiah' dalam hal metodologi dan menganggap keraguan sebagai sarana epistemologi yang paling tepat untuk mencapai kebenaran; ilmu yang untuk pertama kalinya dalam sejarah itu telah membawa kekacauan ke tiga pemerintah alam: hewan, tanaman dan bahan galian. Butuh untuk saya tekankan di sini bahwa ilmu itu tidak netral, dan tentu saja dapat dimasuki dengan suatu sifat dan konten yang menyamar sebagai ilmu. Tetapi hakikatnya, jika diamati secara keseluruhan, ia bukanlah ilmu yang benar, melainkan hanya berupa tafsiran-tafsiran melalui prisma pandangan alam, sebuah pandangan intelektual dan persepsi psikologi dari peradaban yang memainkan peran kunci dalam perumusan dan penyebarannya pada saat ini. Apa yang dirumuskan dan disebarkan adalah ilmu yang dimasuki karakter dan kepribadian peradaban itu.
Ilmu yang disajikan dan disampaikan dengan topeng seperti itu dilebur secara halus bersama-sama dengan ilmu yang benar sehingga orang lain tanpa sadar menganggap secara keseluruhan merupakan ilmu yang sebenarnya. Gaya, kepribadian, esensi dan ruh peradaban Barat seperti apakah yang telah mengubah dirinya sendiri dan dunia ini dan membawa semua yang menerima interpretasi ilmu itu ke dalam sebuah kekacauan yang menuju ke kehancuran? 'Peradaban Barat' yang saya maksudkan itu adalah peradaban yang berkembang dari percampuran sejarah berbagai kebudayaan, filsafat, nilai dan aspirasi Yunani dan Romawi kuno; penyatuannya dengan ajaran Yahudi dan Kristen dan perkembangan dan pembentukan lebih jauh yang dilakukan orang Latin, Germanik, Celtik dan Nordik . Dari Yunani kuno diserap unsur filsafat, epistemologi, dasar pendidikan dan etika serta estetika; dari Romawi unsur-unsur hukum dan ketatanegaraan serta pemerintahan; dari ajaran Yahudi dan Kristen unsur keyakinan beragama; dan dari orang Latin, Germanik, Celtik dan Nordik kemerdekaan, semangat nasional dan nilai tradisi mereka, serta pengembangan ilmu sains tabi'i, fisik dan teknologi. Dengan kekuatan ini, bersama bangsa Slavia, mereka telah mendorong peradaban ini ke puncak kekuasaan. Islam juga telah memberi banyak kontribusi yang penting kepada peradaban Barat dalam bidang ilmu dan dalam menanamkan semangat rasional dan ilmiah. Tetapi ilmu dan semangat rasional dan ilmiah itu telah disusun kembali dan ditata ulang untuk disesuaikan dengan acuan kebudayaan Barat sehingga melebur dan menyatu dengan unsur lain yang membentuk karakter dan kepribadian peradaban Barat. Namun, peleburan dan penyatuan itu kemudian berkembang memproduksi suatu dualisme yang khusus dalam pandangan alam dan tata nilai budaya dan peradaban Barat. Suatu dualisme yang tidak dapat diselesaikan menjadi kesatuan yang harmonis, karena terbentuk dari berbagai ide, nilai, budaya, kepercayaan, filsafat, dogma, doktrin dan teologi yang saling bertentangan. Kesemuanya ini mencerminkan suatu pandangan dualistik terhadap realitas dan kebenaran yang diikuti dengan pertempuran yang menghancurkan harapan. Dualisme itu menguasai semua aspek kehidupan dan filsafat Barat; baik yang spekulatif, sosial, politik, atau budaya - sebagaimana ia telah menyusup dengan begitu hebat ke dalam agama Barat.
Barat merumuskan pandangannya terhadap kebenaran dan realitas bukan berdasarkan ilmu wahyu dan dasar keyakinan agama, tetapi berdasarkan tradisi kebudayaan yang diperkuat oleh dasar filsafat. Dasar filsafat ini berangkat dari dugaan yang terkait hanya dengan kehidupan sekuler yang berbasis pada manusia sebagai entitas fisik dan hewan rasional. Menempatkan ruang yang besar untuk kekuatan rasional manusia sebagai satu-satunya kekuatan yang akan menyingkap sendiri seluruh rahasia alam dan hubungannya dengan eksistensi, serta menyingkap hasil pemikiran spekulatif itu untuk perkembangan nilai etika dan moral yang berevolusi untuk membimbing dan mengatur kehidupannya. Tidak akan ada kepastian dalam spekulasi filsafat seperti kepastian keagamaan yang berdasarkan ilmu yang diwahyukan seperti yang dipahami dan dialami dalamIslam. Inilah sebabnya ilmu dan nilai yang memancarkan pandangan alam dan mengarahkan kehidupan peradaban tersebut akan selalu ditinjau ulang dan berubah.
Semangat penelitian dalam kebudayaan dan peradaban Barat itu berasal dari penghapusan keterpesonaan manusia terhadap agama seperti yang dipahami dalam peradaban tersebut. Agama dalam pengertian kita, sebagai din, tidak pernah berakar dalam peradaban Barat karena kecintaannya yang berlebihan dan menyimpang pada dunia dan kehidupan sekuler dan manusia dan kesibukan memikirkan nasib sekularnya di dunia. Semangat penelitian ini pada dasarnya didorongkan kondisi ragu dan tekanan batin. Tekanan batin ini adalah akibat dari konflik antara unsur dan nilai yang saling bertentangan dalam cara pandang dualisme yang dipertahankan, sementara keraguan tersebut melanjutkan kondisi tekanan batin. Tekanan batin itu pada gilirannya membangkitkan keinginan yang tidak pernah terpuaskan untuk melakukan pencarian tanpa akhir.
Pencarian tersebut tidak pernah terpuaskan dan perjalanan itu tidak pernah berakhir karena keraguan yang selalu menguasai diri, sehingga apa yang dicari itu tidak akan ditemukan, sedangkan jawaban yang diperoleh itu tidak pernah mencapai tujuan yang sebenarnya. Ibarat seorang pengembara yang kehausan yang pada mulanya tulus dalam mencari air ilmu pengetahuan.Namun, setelah menemukannya, mungkin karena merasa air tersebut tawar, lalu ia menambahkan ke dalam cangkirnya garam keraguan sehingga rasa hausnya kini tidak dapat hilang meskipun ia minum air itu terus menerus. Dengan minum, ia tidak dapat memuaskan dahaganya, karena ia telah melupakan tujuan awal dan tujuan yang benar dari pencarian air itu. Kebenaran agama yang asasi dipandang, dalam cara berpikir seperti itu, sebagai teori belaka, atau ditolak terus hanya sebagai bayangan yang tidak berguna. Nilai yang mutlak ditolak, sedangkan nilai relatif dipegang teguh. Tidak ada yang pasti, kecuali kepastian bahwa tidak ada yang pasti. Akibat logis dari sikap tadi terhadap ilmu yang mempengaruhi dan dipengaruhi pandangan alam itu adalah pengingkaran terhadap Allah dan Hari Akhirat dan sebaliknya menegaskan manusia dan dunianya. Manusia dituhankan dan Tuhan dimanusiakan. Dunia menjadi satu-satunya kesibukan manusia, bahkan ketidakfanaannya menjadi sekedar keberlangsungan spesiesnya dan kebudayaannya di dunia ini.Apa yang disebut 'perubahan', 'pembangunan' dan 'kemajuan' dalam semua aspeknya, dalam peradaban Barat, adalah hasil dari pencarian tiada henti dan perjalanan tanpa akhir yang didorong keraguan dan ketegangan batin. Konsep tentang perubahan, pembangunan dan kemajuan selalu dipahami dalam konteks keduniawian dan selalu menyajikan pandangan alam yang materialistik yang dapat disebut sebagai bentuk eksistensialisme humanistik. Semangat kebudayaan Barat yang menggambarkan dirinya sebagai Promethean adalah ibarat Sisyphusnya Camus yang dengan sungguh-sungguh berharapkan bahwa semuanya baik-baik saja. Saya katakan dengan sungguh-sungguh berharap bahwa semuanya baik-baik saja karena saya merasa bahwa hakikatnya tidak semuanya baik, karena saya percaya ia tidak akan pernah benar-benar bahagia dalam kondisi itu.Pencarian ilmu yang dimaksud di atas ibarat perjuangan mendorong batu besar dari dasar ke puncak gunung di mana setelah tiba di puncak batu itu hanya untuk digelindingkan kembali ke bawah. Pencarian ini tidak ubahnya suatu permainan serius yang tidak pernah berhenti, seolah-olah untuk mengalihkan jiwa dari tragedi kegagalan. Oleh karena itu mengherankan bahwa di dalam kebudayaan Barat tragedi disanjung sebagai salah satu nilai yang paling mulia dalam drama keberadaan manusia.
Menyandarkan diri hanya pada kekuatan akal rasional manusia untuk membimbing manusia dalam kehidupan; kepercayaan terhadap keabsahan pandangan dualistik tentang realitas dan kebenaran; penegasan akan sisi fana6 Jurnal Terjemahan Alam & Tamadun Melayu kehidupan sebagai realitas yang memancarkan pandangan alam yang sekuler; penerimaan ajaran humanisme; penerimaan drama dan tragedi, yang dianggap sebagai realitas universal, di dalam kehidupan spiritual, atau transendental, atau kehidupan batin manusia, sehingga drama dan tragedi menjadi unsur nyata bahkan dominan dalam hakikat dan eksistensi manusia - semua unsur ini secara keseluruhan, menurut pendapat saya adalah dasar ruh, karakter dan kepribadian kebudayaan dan peradaban Barat. Inilah unsur yang membentuk konsep ilmu dan arah tujuannya dalam kebudayaan dan peradaban Barat, termasuk juga perumusan isi dan metode penyebarannya. Dengan demikian ilmu yang secara sistematis disebarkan ke seluruh dunia saat ini bukanlah ilmu yang sejati. Tetapi ilmu itu sudah dimasuki karakter dan kepribadian, kebudayaan dan peradaban Barat, dipenuhi dengan semangatnya dan disesuaikan dengan tujuannya. Unsur inilah yang kemudian harus dikenal, dipisahkan dan diasingkan dari tubuh ilmu pengetahuan, sehingga ilmu itu dapat dibersihkan dari unsur tersebut. Karena unsur Barat ini, termasuk juga hal yang terkandung di dalamnya, bukanlah ilmu pengetahuan itu sendiri, tetapi ia hanyalah menentukan bentuk khusus untuk memahami, menilai, dan menafsirkan ilmu tersebut agar sesuai dan sejalan dengan pandangan alam peradaban Barat. Selanjutnya, selain kita harus mengidentifikasi, memisahkan dan mengasingkan unsur tadi dari tubuh ilmu yang semestinya akan mengubah bentuk konseptual, nilai dan interpretasi beberapa konten ilmu pengetahuan seperti yang disajikan sekarang, kita harus mengubah tujuan dan sistem pengaturan dan penyebaran ilmu pengetahuan dalam lembaga-lembaga pendidikan, demikian juga dalam lapangan pendidikan. Mungkin ada yang berpendapat apa yang disarankan ini tidak lebih dari suatu tafsiran lain, di mana ilmu pengetahuan tadi dimasuki bentuk konseptual dan nilai lainnya yang disesuaikan dengan maksud yang mencerminkan pandangan alam lain tersebut; dengan demikian, dari sudut pandang yang sama, bagaimana pun juga ia dirumuskan dan disebarkan tetap tidak semestinya akan menayangkan ilmu pengetahuan yang sejati itu. Namun, hal ini harus diteliti lebih lanjut, karena pengujian benar tidaknya ilmu itu terletak pada diri manusia sendiri. Jika melalui penafsiran alternatif itu manusia dapat mengetahui hakikat dirinya serta tujuan sejati hidupnya, dan dengan mengetahui itu ia mencapai kebahagiaan, maka ilmu itu adalah ilmu sejati, meskipun ilmu itu dipengaruhi unsur tertentu yang menentukan bentuk khususnya, serta dipahami, dinilai dan ditafsirkan sesuai dan sejalan dengan suatu pandangan alam tertentu. Ini adalah karena ilmu pengetahuan seperti inilah yang telah memenuhi tujuan manusia menemukan ilmu.


HAKIKAT MANUSIA

Manusia memiliki hakikat ganda atau dwi hakikat, yaitu jiwa dan raga; kedua- duanya adalah sebuah wujud fisik dan sekaligus ruh (15: 29; 23: 12-14). Allah mengajarkannya nama-nama (al-asma ') segala sesuatu (QS. 2: 31). Dengan 'Nama-nama itu' kita menyimpulkan bahwa yang dimaksud adalah ilmu (al-'Ilm) tentang segala sesuatu (al-ashya '). Ilmu ini tidak merujuk pada ilmutentang esensi atau dasarnya yang paling dalam (sirr) dari sesuatu (shay '), misalnya ruh, di mana ilmu ini hanya sedikit yang diberikan Allah kepada manusia (17: 85). Ilmu yang dimaksud di sini adalah tentang 'Arad dan sifat tentang segala sesuatu yang dapat ditangkap pancaindera (mahsusat) dan dipahami akal (ma'qulat) sehingga dapat diketahui hubungan dan perbedaan antara satu sama lainnya. Selain itu, juga untuk menjelaskan hakikatnya dalam konteks ini sehingga dapat dikenal dan dipahami penyebab, penggunaan dan manfaatnya masing-masing. Manusia juga diberi ilmu tentang Allah (ma'rifah), pada Keesaan-Nya Yang Mutlak; bahwa Allah adalah Tuhan yang sebenarnya Tuhan (rabb), dan obyek sesembahan yang sejati (Ilah) (7: 172; 3: 18).
Tempat ilmu ini, baik al-'Ilm atau ma'rifah, ada pada jiwa manusia (al- nafs), hatinya (al-qalb) dan akalnya (al-'aql). Oleh karena manusia mengetahui ('Arafa) Allah dengan mentauhidkannya sebagai Tuhan sejati, maka ilmu tersebut dan realitas kondisi yang terkait dengannya itu memiliki efek mengikat manusia dalam suatu Perjanjian (mithaq, 'ahd) yang menentukan tujuan hidup, peri laku dan perbuatannya dalam hubungan antara dirinya dengan Allah (QS. 7: 172). 'Keterikatan' dan 'penentuan' manusia dengan Tuhannya dalam suatu Perjanjian ini dalam hal tujuan hidup, peri laku dan perbuatannya ini pada dasarnya adalah keterikatan dan penentuan dalam bentuk agama (din) dan kepatuhan (aslama) yang sejati. Maka, din dan aslama keduanya terkait erat dalam hakikat manusia (fitrah). Tujuan sejati manusia adalah untukmenjalankan 'ibadah kepada Allah (QS. 51: 56), dan kewajibannya adalah taat kepada Allah sesuai dengan hakikat dasar (fitrah) yang telah diciptakan Allah baginya (QS. 30: 30). Tetapi, di samping itu manusia juga "bersifat pelupa, (Nisyan) ". Manusia disebut insan adalah karena setelah bersaksi akan kebenaran Perjanjian yang menyatakan perpanjangan larangan Allah, ia lupa (nasiya) memenuhi kewajiban dan tujuan hidupnya itu (diriwayatkan dari ibn 'Abbas)
Sesungguhnya manusia disebut insan karena setelah berjanji dengan-Nya, ia lupa (nasiya),dengan mengacu kepada QS. 20: 115). Sifat pelupa ini adalah penyebab keingkaran manusia dan sifat tercela ini mengarahkannya pada ketidakadilan (Zulm) dan kebodohan (jahl) (33: 72). Namun demikian, Allah telah melengkapinya dengan daya pandangan dan pemahaman yang benar dan kecenderungan menikmati kebenaran sejati dan percakapan dan komunikasi yang benar. Dan Allah telah menunjukkan pula kepadanya apa yang benar dan yang salah sehingga ia dapat memilih perbuatan mana yang harus diambilnya agar ia dapat berjuang mencapai takdirnya yang cerah (QS. 90: 8-10). Pilihan itu diserahkan kepadanya.
Selain itu Allah telah melengkapinya dengan kecerdasan untuk membedakan yang benar dari yang salah, atau kebenaran dari kepalsuan. Meskipun kecerdasan itu mungkin membingungkannya, tetapi asalkan ia jujur ​​dan setia terhadap hakikat dirinya yang benar, maka Allah dengan segala karunia, belas kasih dan rahmat-Nya - jika Ia menghendaki - akan memberikan petunjuk-Nya (huda) untuk membantunya memperoleh kebenaran dan peri laku yang benar (contoh yang paling baik dalam hal ini adalah Nabi Ibrahim, 'alayhi'l-salam, pada QS. 6: 74-82). Manusia setelah dipersiapkan demikian, dibuat untuk menjadi wakil (khalifah) Allah di muka bumi (QS. 2:30). Dengan demikian, beban berat kepercayaan (amanah) itu telah ditempatkan ke atas pundaknya, yaitu amanah dan tanggung jawab untuk memerintah sesuai dengan kehendak, maksud dan ridha-Nya (33: 72). Amanah berarti tanggung jawab untuk berbuat adil terhadapnya. Yang dimaksud dengan memerintah di sini tidak hanya dalam pengertian sosio-politik, atau dalampengertian menangani alam secara ilmiah, tetapi yang lebih mendasar adalah mencakup konsep alam tabi'i (tabi'ah), ia menunjuk kepada memerintah, mengatur, mengendalikan dan memelihara manusia oleh diri manusia itu sendiri. Manusia juga memiliki dua jiwa (nafsan) serupa dengan dwi hakikatnya pada: jiwa yang tinggi disebut jiwa akali (al-nafs al-natiqah), dan jiwa yang rendah disebut jiwa hewani (al-nafs al-hayawaniyyah). Ketika Allah mengumumkan realitas ketuhanan-Nya kepada manusia, jiwa akali itulah yang dituju-Nya, maka jiwa akalilah yang mengetahui Allah. Agar manusia memenuhi perjanjiannya dengan Allah, senantiasa menegaskan dan mengkonfirmasi Perjanjian itu sepenuh jiwanya sehingga terjelma dalam amal perbuatannya ('amal, yaitu dengan merujuk pada' ibadah) yang dilakukan dalam ketaatannya terhadap Hukum Allah (yaitu shari'ah), maka jiwa akali itu harus mempertahankan kekuasaannya dan menggunakan kekuasaan dan pengaruhnya terhadap jiwa hewani, sehingga jiwa hewani itu tunduk dan patuh kepadanya seperti yang mestinya. Kekuasaan dan pengendalian efektif yang dilakukan oleh jiwa akali pada jiwa hewani itulah yang sebenarnya dinamakan din; sedangkan kepatuhan secara sadar dan menyeluruh serta penuh kerelaan jiwa hewani terhadap jiwa akali itu tidak lain adalah aslama dan Islam. Keduadin dan Islam itu yang membawa kepada sebaik-baik perilaku keagamaan (Ihsan), harus terkait dengan kebebasan yang dimiliki jiwa akali, kebebasan yang berarti kekuasaan (quwwah) dan kemampuan (wus ') untuk berbuat adil kepada dirinya. Dan ini berarti menggunakan kekuasaannya, bimbingannya serta pemeliharaannya ke atas jiwa hewani dan raga tersebut. Kekuasaan dankemampuan untuk berbuat adil kepada dirinya menyinggung pengukuhan dan pemenuhan jiwa akali terhadap perjanjiannya dengan Allah secara terus- menerus. Keadilan dalam Islam bukan merujuk pada suatu kondisi yang hanya terjadi pada hubungan antara dua orang atau antara dua pihak, seperti antara seorang dengan seorang lain, atau antara masyarakat dan negara, atau antara raja dan rakyatnya. Manusia Islam, seorang Muslim sejati, khalifatu'Llah, tidak terikat oleh kontrak sosial, atau menganut doktrin kontrak sosial. Memang ia hidup dan bekerja dalam lingkungan tata negara dan otoritas sosial dan memberi kontribusinya pada kebaikan sosial dan meskipun ia berperilaku seakan-akan ia terikat dengan suatu kontrak sosial, namun kontraknya adalah suatu kontrak pribadi yang mencerminkan Perjanjian yang telah terpatri dalam jiwanya antara dirinya dengan Allah, karena sebenarya Perjanjian itu dibuat untuk setiap jiwa. Maksud dan tujuan etika dalam Islam pada akhirnya adalah untuk setiap individu. Apa yang dilakukan seorang manusia Islam di dunia ini, ia dilakukan sesuai dengan apa yang ia yakini bahwa sesuatu itu dikatakan sebagai kebaikan hanya jika Allah dan Rasul-Nya mengatakan demikian, dan ia percaya bahwa perbuatannya itu akan mendapat keredhaan Allah.
Kita telah menggambarkan secara singkat hal yang penting tentang hakikat manusia yang dapat kita sebut sebagai 'dua sekutu': memiliki dwi hakikat yaitu jiwa dan raga, jiwa akali dan raga hewani; dan bahwa ia adalah ruh dan sekaligus, ada fisik dan ia memiliki kepribadian yang disebut dengan diri; bahwa ia memiliki sifat yang mencerminkan sifat Penciptanya. Secara khusus telah kita katakan bahwa manusia memiliki ilmu tentang nama berbagai benda, dan juga ilmu tentang Tuhan; bahwa ia memiliki organ kognitif spiritual dan rasional, yaitu berupa kalbu dan akal; bahwa ia memiliki daya untuk mendapatkan pandangan dan pengalaman baik secara fisik, intelektual atau kebatinaan; bahwa ia memiliki potensi untuk menyimpan pedoman dan kebijaksanaan dalam dirinya sendiri, dan bahwa ia memiliki kekuatan dan kemampuan untuk berbuat adil kepada dirinya. Dan kita juga mengatakan bahwa pada dasarnya manusia bersifat pelupa sehingga ia dapat saja terperangkap dalam keingkaran, kezaliman dan kebodohan. Semua sifat positif dan negatif di dalam dirinya itu saling berlomba untuk berkuasa, tetapi dalam dirinya juga terpatri sarana keamanan dalam agama yang benar dan kepasrahan sejati. Untuk menyimpulkan semua penjelasan di pada, dapat kita katakan sekarang bahwa manusia secara keseluruhan adalah tempat (mahall atau makan) untuk kemunculan din dan oleh karena itu ia seperti sebuah kota (madinah), sebuah negara, sebuah warga kota. Sejatinya seorang manusia tidak ubahnya dengan seorang penghuni kota dalam dirinya, penduduk dari pemerintah miniaturnya sendiri. Konsep manusia sebagai perlambangan mikrokosmik ('alam Saghir) dari makrokosmos (al-'alam al-kabir) itu adalah yang paling penting dalam hubungannya dengan ilmu. Konsep ini adalah sifatnya yang paling penting bertanggung jawab atas penegakan keadilan dalam diri, ada dan eksistensi manusia. Demikian juga dengan halnya dalam hubungannya dengan organisasi pengajaran, penanaman dan penyebaran ilmu dalam pendidikan manusia, khususnya mengacu kepada universitas seperti yang akan dijelaskan selanjutnya.


HAKIKAT ILMU

Ada banyak penjelasan tentang hakikat ilmu di dalam Islam itu melebihi apa yang ada dalam agama, kebudayaan dan peradaban lainnya. Tidak diragukan lagi hal ini disebabkan posisi yang sangat tinggi dan peran yang besar yang Allah beri kepada al-'Ilm di dalam Kitab Suci al-Qur'an. Penjelasan tersebut, meskipun isinya berbeda, tetapi mencakup hakikat ilmu secarakeseluruhan. Ada perbedaan antara ilmu Allah dan ilmu manusia tentang Tuhan, agama dan dunia, dan hal yang dapat ditangkap pancaindera dan dicerna akal; demikian juga ilmu tentang hal spiritual dan kebijaksanaan. Misalnya, ilmu itu dapat berarti Kitab Suci al-Qur'an; Hukum yang diwahyukan (Shari'ah); Sunnah; Islam; Keimanan (iman); Ilmu Spiritual ('ilm al-ladunniyy),Kebijaksanaan (hikmah) dan ma'rifah, juga secara umum disebut sebagai Cahaya; Pemikiran; Sains (suatu 'ilm khusus, bentuk jamaknya' ulum); Pendidikan. Penjelasan tersebut terbentang sejak zaman awal Islam sampai ke abad ke-7 setelah Hijrah, karena itu termasuk juga berbagai karya tafsir Kitab Suci al-Qur'an; penjelasan Hadits oleh para penyusunnya dari berbagai kitab Sihah; karya-karya para imam tentang hukum dan fiqih, dan juga sebagian karya hukum yang paling terkemuka yang secara khusus menjelaskan konsep ilmu dan kearifan; buku tentang ilmu yang ditulis berbagai sarjana, cendekiawan, orang bijak, wali baik dari kaum Sunni maupun Shi'ah; penjelasan dari orang Mu'tazilah, Ahli Kalam, para filosof, sufi dan 'ulama' pada umumnya; kamus peristilahan teknis dalam bidang tasawwuf dan filsafat dan ilmu sains (Al-funun) dari berbagai anggota tata bahasa, ahli filologi, para cendekiawan dan sastrawan; berbagai antologi dan karya-karya lainnya yang berhubungan dengan pendidikan dan persuratan.
Secara umum dapat dipahami bahwa ilmu tidak membutuhkan pendefinisian (Hadd).Makna yang terkandung dalam istilah 'ilm secara alami dapat langsung dimengerti sebagai manusia berdasarkan pengetahuannya tentang ilmu, karena ilmu adalah salah satu sifat yang paling penting baginya. Apa maksud ilmu telah jelas baginya sehingga tidak diperlukan penjelasan untuk menerangkan sifat khususnya. Telah diterima bahwa ilmu dapat diklasifikasikan ke dalam unsur yang utama, sehingga dasar pengklasifikasian, selama yang berhubungan dengan manusia, itu dapat bermanfaat. Semua ilmu datang dari Allah. Untuk tujuan pengklasifikasian yang sesuai dengan tindakan kita, kita katakan dengan cara yang sama seperti manusia yang terdiri dari dwi hakikat yang memiliki dua jiwa, demikian pula ilmu terbagi menjadi dua jenis: yang satu adalahhidangan dan kehidupan untuk jiwanya, dan yang lain adalah pasokan untuk melengkapi diri manusia di dunia untuk mengejar tujuan pragmatisnya.
Ilmu jenis pertama itu diberikan Allah melalui wahyu-Nya kepada manusia; dan ini merujuk pada Kitab Suci al-Qur'an. Al-Qur'an adalah wahyu yang lengkap dan terakhir, sehingga ia sudah cukup sebagai bimbingan dan keamanan manusia. Dan tidak ada ilmu lain - kecuali yang didasarkan11 Dewesternisasi Ilmu di atasnya dan yang menunjuk kepadanya - yang dapat membimbing dan menyelamatkan manusia. Allah, demikian juga tidak pernah berhentiberhubungan dengan manusia, dan dengan rahmat-Nya, dan karunia dan kemurahan-Nya ia dapat menganugerahkan ilmu dan kebijaksanaan spiritual tertentu untuk hamba-Nya yang terpilih - 'sahabat-sahabat'-Nya (yakni, awliya') - Menurut tingkatan ihsan mereka (lihat QS. 10: 62, 18: 65, 31: 12, 38: 20).
Kitab Suci al-Qur'an adalah ilmu yang tidak ada bandingnya. Nabi, shallallahu 'alayhi wasallam - yang menerima wahyu dan menyampaikan al- Qur'an itu ke manusia sebagaimana yang diwahyukan Allah kepadanya, y ang telah menyampaikan ilmu itu kepada manusia, kehidupannya sendiri adalah penafsiran terhadap al-Qur'an yang paling baik dan sempurna sehingga kehidupannya menjadi pusat keteladanan dan bimbingan spiritual yang sejati untuk manusia-adalah ilmu tentang ilmu yang satu itu karena hakikat dan misi beliau yang diperintah Allah. Oleh karena itu sunnah-nya, sebagai cara beliau untuk menafsirkan hukum Allah (shari'ah) dalam kehidupan dan prakteksehari-hari adalah juga bagian dari ilmu tersebut. Shari'ah adalah hukum Allah yang terkandung dalam Kitab Suci al-Qur'an dan dijelmakan dalam kata (qawl), contoh perbuatan (fi'l), dan persetujuannya terhadap sesuatu dengan cara mendiamkannya (taqrir) di dalam sunnah, yang di dalamnya termasuk ilmu dan kebijaksanaan spiritual. Jadi, Kitab Suci Al-Qur'an, sunnah, shari'ah, al-'Ilm al-ladunniyy dan hikmah adalah unsur utama dari ilmu jenis yang satu itu. Terkait dengan ilmu yang disebut terakhir - ilmu spiritual dan kebijaksanaan - manusia hanya dapat memperolehnya melalui ibadah dan ketaatan kepada Allah. Hal ini tergantung pada penghargaan Allah serta kekuatan dan kemampuan spiritual yang diberi Allah kepadanya sehingga ia dapat menerima ilmu ini. Manusia menerima ilmu ini dengan cara terinspirasi langsung atau lewat penikmatan spiritual (dhawq) dan penyingkapan penglihatan spiritual (Kashf). Ilmu ini terkait diri atau jiwanya, dan ilmu seperti itu (ma'rifah) - jika dialami dalam pelaksanaan yang benar terhadapshari'ah - akan memberikan ilmu tentang Tuhan, dan karena itu disebut ilmu tertinggi. Di sini kita membicarakan ilmu pada tingkat ihsan, yaitu ketika 'ibadah telah mencapai, atau dengan kata lain serupa dengan ma'rifah (lihat 51: 56 dengan mengacu kepada li ya'budun, yang menurut ibn 'Abbas berarti li ya'rifun). Oleh karena ilmu tersebut pada akhirnya tergantung pada rahmat Allah dan oleh karena ia menuntut praktek dan pengabdian kepada Allah sebagai prasyarat memperolehnya, maka dapatlah disimpulkan bahwa untuk mendapatkan ilmu tersebut, ilmu tentang prasyarat itu menjadi sesuatu yang wajib. Ia mencakup ilmu tentang dasar-dasar Islam (islam - iman - ihsan), prinsipnya (arkan), arti dan maksudnya, serta pemahaman dan pelaksanaannya yang benar dalam kehidupan dan praktek sehari-hari. Setiap Muslim harus memiliki ilmu tentang prasyarat itu; harus mengerti dasar Islam dan keesaan Allah, pokoknya dan sifat-Nya (tawhid); harus memiliki ilmu tentang al-Qur'an, Nabi shallallahu 'alayhi wasallam, sunnah dan kehidupannya, serta12 Jurnal Terjemahan Alam & Tamadun Melayu menerapkan ilmu itu yang didasarkan amal dan pengabdian pada Allahsehingga setiap Muslim sudah berada dalam tingkat awal ilmu tingkat pertama tersebut, bahwa ia sudah siaga di atas Jalan Lurus yang akan membimbingnya menuju Allah. Pencapaiannya dalam mengejar kebaikan tertinggi (ihsan) akan tergantung pada ilmunya sendiri, kemampuanintuitifnya, kekuatan perenungan, kemampuan, prestasi dan keikhlasan.
Jenis ilmu yang kedua merujuk pada ilmu sains ('ulum) yang diperoleh melalui pengalaman, pengamatan dan penelitian. Ilmu ini bersifat diskursif dan deduktif dan terkait hal yang bernilai pragmatis. Ilmu jenis pertama diberikan oleh Allah kepada manusia melalui pengungkapan langsung, sedangkan yang kedua melalui spekulasi dan usaha penelitian rasional dan didasarkan pada pengalamannya tentang segala sesuatu yang dapat ditangkap pancaindera dan dipahami oleh akal. Yang pertama itu mengacu kepada ilmu tentang kebenaran objektif yang diperlukan untuk membimbing manusia, sedangkan yang kedua itu merujuk kepada ilmu tentang data yang dapatditangkap pancaindera dan dipahami akal yang dipelajari (kasbi) untuk penggunaan dan pemahaman kita.
Dari sudut pandang manusia, dua jenis ilmu itu harus diperoleh melalui perbuatan secara sadar ('amal), karena tidak ada ilmu yang berguna tanpa amal yang lahir dari ilmu tersebut, dan tidak ada amal yang berarti tanpa ilmu. Ilmu jenis pertama menyingkap misteri ada dan keberadaan dan mengungkapkan hubungan sejati antara diri manusia dan Tuhannya. Dan olehkarena untuk manusia ilmu tersebut terkait dengan tujuan utama manusia mengetahui, maka dapat disimpulkan bahwa ilmu tentang prasyarat ilmu itu menjadi dasar dan dasar utama untuk ilmu jenis yang kedua, karena ilmu yang kedua itu sendiri, tanpa bimbingan ilmu yang pertama, tidak akan dapat menuntun manusia dengan benar dalam kehidupannya dan hanya akanmembingungkan, menyesatkan, dan menjerat manusia ke dalam kancah pencarian yang tanpa akhir dan tujuan.
Kita juga melihat adanya batas untuk manusia atas ilmu jenis yang pertama dan yang tertinggi itu, sementara tidak ada batas untuk ilmu jenis yang kedua, sehingga selalu ada kemungkinan perjalanan tanpa henti yang didorong akibat penipuan intelektual dan khayalan diri dalam keraguan dan keingintahuan yang berkelanjutan. Seorang manusia seharusnya membatasi pencarian ilmu jenis yang kedua sampai ke kebutuhan praktis dan disesuaikan dengan hakikat dan kemampuannya. Tujuannya agar ia dapat menempatkan kedua ilmu itu dan dirinya di tempat yang benar dalam hubungan dengan dirinya yang sesungguhnya sehingga dapat dipelihara suatu kondisi yang adil. Untuk itu, agar tercapainya keadilan sebagai tujuan, Islam membedakan pencarianterhadap kedua jenis ilmu itu, menjadikan memperoleh ilmu tentang prasyarat untuk ilmu jenis yang pertama itu menjadi kewajiban untuk setiap Muslim (Fard 'ayn), sedangkan yang lainnya hanya menjadi kewajiban untuk sebagian Muslim (fard kifayah), dan kewajiban untuk yang kedua itu dapat saja dialihkan kepada satu khususnya untuk orang yang menganggap diri mereka berkewajiban mencari ilmu jenis yang satu demi memperbaiki diri. Pembagian kewajiban mencari ilmu ke dalam dua kategori ini adalah cara menerapkan keadilan terhadap ilmu dan untuk orang yang mempelajarinya, karena semua ilmu tentang prasyarat ilmu jenis yang pertama itu adalah baik untuk manusia, sedangkan tidak semua ilmu jenis yang kedua itu baik untuknya. Ini adalah kerana orang yang mempelajari ilmu jenis yang kedua ini, yang dapat membawa pengaruh yang cukup besar ke dalam peranan dan kedudukan sekularnya sebagai warga negara, belum tentu adalah manusia yang baik. Konsep 'manusia yang baik' dalam Islam tidak hanya bermaksud 'baik' dalam pengertian sosial seperti yang difahami orang pada umumnya, tetapi ia juga mesti pertama-tama baik kepada dirinya, tidak berlaku zalim (tidak adil) terhadap dirinya seperti yang telah diterangkan. Sekiranya ia tidak dapat adil kepada dirinya, bagaimana ia dapat benar-benar adil terhadap orang lain?
Jadi kita melihat dalam Islam: (a) ilmu merangkumi iman dan kepercayaan (b) tujuan menuntut ilmu adalah penanaman kebaikan atau keadilan dalam diri manusia sebagai manusia dan diri-peribadi, dan bukannya sekadar manusia sebagai warga negara atau bahagian yang tidak terpisahkan daripada masyarakat. Inilah nilai manusia sebagai manusia sejati, sebagai penduduk dalam kota- dirinya, sebagai warga negara dalam kerajaan mikrokosmiknya sendiri, sebagai ruh. Inilah yang perlu ditekankan, manusia bukan sekadar entiti fizik yang nilainya diukur dalam pengertian pragmatik atau utilitarian yang melihat kegunaannya bagi negara, masyarakat, dan dunia.
Sebagai landasan pemikiran bagi tujuan dan maksud pendidikan, dan bagi pembinaan ilmu teras yang terpadu dalam sistem pendidikan, saya merasakan pentingnya untuk mengumpulkan kembali sifat utama pandangan Islam tentang Realiti. Melihat bahawa pandangan Islam terhadap Realiti itu terpusat pada Wujud, maka dari itu dengan cara yang sama Wujud dalam Islam dilihat sebagai hirarki dari yang tertinggi hingga yang terendah. Dalam konteks ini kelihatan juga hubungan antara manusia dengan alam semesta, kedudukannya dalam urutan Wujud dan gambaran analoginya sebagai mikrokosmos yang mencerminkan Makrokosmos, dan bukan yang sebaliknya. Ilmu juga disusun secara hirarki, dan tugas kita pada masa ini adalah untuk merombak sistempendidikan yang kita ketahui – dan dalam beberapa hal merubahnya – sehingga ia mencerminkan aturan disiplin dalam sistem Islam.


DEFINISI DAN TUJUAN PENDIDIKAN

Telah kita katakan keadilan membayangkan ilmu yang juga bermakna ilmu itu mendahului keadilan. Kita telah mendefinisikan keadilan sebagai keadaan yang harmoni atau keadaan dengan segala sesuatu itu pada tempatnya yang benar dan tepat – seperti kosmos; atau keadaan yang seimbang, baik yang menyangkut dengan benda atau makhluk hidup. Lebih jauh lagi telah kita katakan berkaitan14 Jurnal Terjemahan Alam & Tamadun Melayu tentang manusia dan melihat hakikat gandanya, keadilan adalah situasi dan keadaan yang ia berada pada tempatnya yang benar dan tepat – situasinya dalam hubungan dengan yang lain dan keadaannya dalam hubungan dengan dirinya sendiri. Kemudian telah kita sebut bahawa ilmu tentang 'tempat yang benar' bagi suatu benda atau suatu wujud adalah suatu kebijaksanaan (wisdom). Kebijaksanaan adalah ilmu yang diberikan oleh Allah untuk memungkinkan orang yang ilmu tersebut berada padanya untuk mengamalkannya sehingga ia (pengamalan dan keputusan tersebut) menyebabkan lahirnya keadilan. Dengan demikian keadilan adalah keadaan eksistensial dari kebijaksanaan yang terjelmadalam hal yang dicerap pancaindera dan difahami akal serta dalam alam kerohanian yang berkaitan dengan dua jiwa manusia itu. Penjelmaan luaran keadilan dalam kehidupan dan masyarakat itu tidak lain daripada hadirnya adab dalam kehidupan dan masyarakat tersebut. Saya menggunakan konsep (ma'na') adab di sini dalam pengertiannya yang paling awal dari istilah itu, sebelummunculnya inovasi yang dibuat para cerdik pandai kesusasteraan. Pengertian adab pada asalnya adalah undangan kepada suatu jamuan. Konsep jamuan ini membawa makna bahawa tuan rumah adalah orang yang mulia dan dihormati dan ramai orang yang hadir; para hadirin adalah mereka yang dalam penilaian tuan rumah patut mendapat penghormatan atas undangan itu. Oleh kerana itu, mereka adalah orang budiman dan terhormat yang diharapkan berperilaku sesuai dengan kedudukan mereka, dalam percakapan, tingkah laku dan etiket. Dalam pengertian yang sama kenikmatan makanan yang lazat dalam jamuan itu makin bertambah dengan kehadiran orang yang terhormat serta ramah, dan hidangan tersebut dijamu dengan tatacara, perilaku dan etiket yang penuh dengan kesopanan. Demikian pula halnya ilmu harus disanjung dan dinikmati serta didekati dengan cara yang sama sesuai dengan ketinggian yang dipunyainya. Dan inilah sebabnya kita mengatakan analogi ilmu adalah hidangan dan kehidupan bagi jiwa itu. Berdasarkan pengertian ini, adab juga bermaksud mendispilinkan fikiran dan jiwa. Ia adalah pemerolehan sifat dan ciri yang baik bagi fikiran dan jiwa. Ia juga pelaksanaan perbuatan benar dan tepat sebagai lawan daripada perbuatan yang salah dan keliru; menjadi benteng yang melindungi dari keaiban. Analogi dari undangan ke suatu jamuan untuk ikut menikmati makanan yang lazat, dan kepada ilmu untuk menjadi hidangan bagi akal dan jiwa, dinyatakan secara jelas dan mendalam dalam suatu hadith yang diriwayatkan oleh ibn Mas'ud radiyaLlahu 'anhu:
“Sesungguhnya Kitab Suci al-Qur'an ini adalah jamuan Allah di bumi, maka lalu belajarlah dengan sepenuhnya dari jamuan-Nya” Lisan al-'Arab mengatakan ma'dabat bermaksud mad'at (I:206:2) maka Kitab Suci al-Qur'an adalah undangan Allah ke suatu jamuan kerohanian di muka bumi dan kita dinasihati untuk ikut mengambil bahagian dengan cara mengambil ilmu sejati daripadanya. Pada akhirnya, ilmu yang benar itu adalah 'mengecap rasanya yang sejati' dan itulah sebabnya kita katakan sebelum ini bahawa dengan merujuk kepada unsur utama ilmu jenis yang pertama, manusia menerima ilmu dan kebijaksanaan kerohanian daripada Allah melalui ilham secara langsung atau kenikmatan kerohanian (dhawq), pengalaman tersebut hampir secara serentak menyingkapkan realiti dan kebenaran sesuatu kepada penglihatan kerohaniannya (kashf ). Orang yang di dalam dirinya tersimpan adab mencerminkan kebijaksanaan dan dalam hubungannya dengan masyarakat adab itu adalah pengaturan susunan yang adil di dalamnya. Maka adab adalah persembahan keadilan seperti yang dicerminkan dalam kebijaksanaan, dan ia adalah pengakuan kepada berbagai hirarki (maratib) dalam susunan wujud, eksistensi dan ilmu, dan perbuatan yang sesuai dengan pengakuan itu. Telah kita katakan sebelum ini tujuan mencari ilmu dalam Islam adalah untuk menanamkan kebaikan atau keadilan pada manusia sebagai manusia dan diri peribadi. Oleh kerana itu, tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk melahirkan manusia yang baik. Apa yang dimaksudkan dengan 'baik' dalam konsep kita tentang 'manusia baik'? Unsur asasi yang terkandung dalam konsep pendidikan Islam adalah penanaman adab, kerana adab dalam pengertian yang luas di sini dimaksudkan meliputi kehidupan kerohanian dan kebendaan manusia yang menumbuhkan sifat kebaikan yang dicarinya. Pendidikan adalah tepat seperti yang dimaksudkan dengan adab oleh baginda Nabi, sallaLlahu 'alayhi wasallam, ketika baginda bersabda:
Tuhanku telah mendidik (addaba) aku, dan menjadikan pendidikanku (ta'dib) yang terbaik.
Pendidikan adalah meresapkan dan menanamkan adab pada manusia – ia adalah ta'dib. Jadi adab adalah apa yang mesti ada pada manusia jika ia boleh memperlihatkan kemampuan dirinya dengan cemerlang dalam kehidupan ini dan hari akhirat. Definisi pendidikan dan tujuan serta maksudnya itu sesungguhnya telah terangkum dalam penerangan tentang konsep adab seperti yang dipaparkan di sini.




SISTEM ATURAN DAN DISIPLIN ISLAM

Sebelum ini, kita telah menyebut sistem aturan dan disiplin dalam Islam. Islam adalah contoh yang terbaik daripada aturan dan disiplin kosmos Ilahi, dan orang yang sedar akan takdirnya dalam Islam mengetahui bahawa dengan pengertian yang sama ia juga suatu aturan dan disiplin. Ia sendiri bagaikan sebuah kota, sebuah kerajaan dalam bentuk miniatur; kerana di dalam dirinya seperti juga di dalam seluruh umat manusia terjelmakan sifat Sang Pencipta dan bukan yang sebaliknya. Manusia tahu dirinya mengetahui, dan pengalaman daripada pengetahuan seperti itu memberitahu dirinya yang dia adalah wujud dan sekaligus eksistensi, suatu kesatuan tetapi juga keberagaman, dia sentiasa wujud tetapi pada saat yang sama bersifat fana – pada satu sisi dia tetap tetapi pada sisi yang lain berubah. Keperibadiannya, sejak kelahiran hingga kematiannya sebagai fenomena wujud itu tidaklah berubah sekalipun wujud fizikalnya selalu berubah dan akhirnya akan mengalami kemusnahan. Hal ini berkait dengan hakikat keperibadiannya merujuk kepada suatu yang tetap dalam dirinya – jiwa akalinya. Seandainya bukan kerana sifatnya yang tetap ini, tidak mungkin bagiilmu untuk berada dalam dirinya. Maka ilmu jenis yang pertama itu yang menjadi kehidupannya dan makanannya itu merujuk kepada jiwa akalinya. Pendidikannya secara keseluruhan dan upaya memperoleh ilmu yang menuntunnya kepada ilmu jenis yang pertama itu menuntutnya memperolehilmu tentang prasyarat bagi ilmu jenis yang pertama itu (iaitu fard 'ayn). Oleh sebab hakikat keperibadiannya yang tetap, demikian pula dengan pendidikan dalam Islam itu merupakan proses yang terus-menerus sepanjang masa hidupnya di muka bumi dan ia meliputi setiap aspek kehidupan itu. Dari sudut pandangan pemakaian linguistik, kita harus melihat hakikatnya istilah 'ilm itu telah digunakan dalam Islam untuk merangkumi keseluruhan kehidupan – kerohanian,intelektual, keagamaan, kebudayaan, perseorangan dan sosial – bermaksud bahawa sifatnya adalah universal, dan bahawa ia penting untuk menuntun manusia meraih keselamatannya. Tidak ada kebudayaan dan peradaban lain pernah menggunakan istilah tunggal untuk ilmu untuk merangkumi semua kegiatan dalam kehidupan manusia. Barangkali inilah sebabnya mengapa pengaturan, penanaman dan penyebaran ilmu itu difahami sebagai sistem aturan dan dispilin yang berhubungan dengan kulliyah, suatu konsep yang membawakan gagasan universal. Kita mengetahui bahawa berdasarkan zaman paling yang awal Islam memulakan sistem pendidikannya secara besar-besarandengan masjid sebagai pusatnya; dan dengan masjid ( jami') yang terus menjadi pusatnya bahkan – dalam beberapa hal – sehingga sekarang, di sana berkembang lembaga pendidikan lainnya seperti maktab, bayt al-hikmah, pertemuan sarjana dan pelajar (majalis), dar al-'ulum, dan madaris. Dan dalam bidang ilmu perubatan, astronomi dan ilmu-ilmu pengabdian berkembanglah rumah sakit,observatorium dan zawiyah di kalangan persaudaraan Sufi. Kita juga mengetahui perguruan tinggi Barat itu dibentuk meniru model Islam yang asal. Sangat sedikit maklumat yang saya punyai, akan tetapi tinjauan ke atas konsep asli universiti dalam sistem pendidikan Islam dan pengembangan konsep asal Islam yang berhubungan dengan struktur universiti itu telah mempengaruhi model universiti Barat. Namun demikian, ciri umum dan struktur universiti masa sekarang yang meniru betul-betul model Barat itu masih mengungkapkan secara jelas jejak asal Islamnya. Asal-usul nama institusi itu berasal dari bahasa Latin: universitatem, dengan jelas mencerminkan konsep kulliyah yang berasal daripada Islam pada mulanya. Pada masa itu juga peranan ilmu perubatan dalam pendidikan Islam dan pengaruhnya yang besar ke atas Barat, konsep anatomiknya tentang fakultiyang mengingatkan kembali terhadap quwwah, suatu istilah yang bermaksud suatu kekuatan yang terkandung pada suatu organ yang menjadi yang paling penting pengaruhnya. Pengaruh ini bukan sahaja – menurut saya – dalam hal menentukan asal Islamnya, tetapi juga membuktikan hakikat bahawa kerana konsep fakulti berhubungan dengan makhluk hidup tempat sifat ilmu itu berada,dan bahawa ilmu ini menjadi prinsip yang mengatur fikiran dan perbuatannya, maka universiti harus difahami sebagai upaya meniru struktur umum manusia, baik dalam bentuk, fungsi dan tujuannya. Ini adalah perlambangan mikrokosmik daripada manusia, bahkan sesungguhnya manusia universal.
Tetapi, universiti yang dikembangkan kemudian di Barat dan ditiru hari ini di seluruh dunia itu tidak lagi mencerminkan manusia. Ibarat manusia tanpa keperibadian, universiti moden tidak mempunyai pusat yang sangat penting dan tetap, tidak ada prinsip utama yang tetap yang menjelaskan tujuan akhirnya. Ia tetap menganggap dirinya memikirkan hal universal, bahkan menyatakan mempunyai fakulti dan jabatan seperti layaknya tubuh suatu organ – tetapi ia tidak mempunyai otak, jangankan akal dan jiwa, kecuali dalam fungsi pentadbiran murni untuk pemeliharaan dan perkembangan fizikal. Perkembangannya tidak dibimbing prinsip yang akhir dan tujuan yang jelas, kecuali prinsip nisbi yang mendorong mengejar ilmu tanpa henti dan tujuan yang jelas. Ia telah menjadi simbol yang kabur – tidak seperti konsep al-Qur'an mengenai ayah – kerana ia hanya menunjuk kepada dirinya sendiri (iaitu, sains untuk sains itu sendiri) bukan untuk tujuan sebenar ia dihadirkan (iaitu bagi manusia). Akibatnya, universiti hanya menghasilkan kekeliruan yang tidak ada akhir, bahkan keraguan. Oleh sebab landasan sekular kebudayaan Barat itu, seperti yang telah diterangkan di bahagian awal, universiti diarahkan kepada tujuan nisbi yang sekular, dan oleh kerana itu mencerminkan negara dan masyarakat sekular dan bukan manusia universal. Tidak pernah ada dan tidak mungkin akan ada, kecuali dalam Islam iaitu dalam peribadi Nabi Muhammad, sallaLlahu 'alayhi wasallam, manusia universal yang dapat dicerminkan dalamperlambangan mikrokosmik seperti 'universiti'. Tidak ada negara atau masyarakat yang dapat dipandang boleh mempunyai sifat yang disebut ilmu itu, kerana sifat ini hanya dipunyai manusia perseorangan. Bahkan, jika ada yang membantah dengan menyatakan unversiti moden juga sebenarnya meniru manusia, maka hakikatnya yang digambarkannya itu hanyalah manusia sekular,binatang rasional tanpa ruh, bagaikan lingkaran tanpa titik pusat. Berbagai fakulti dan jurusan di dalamnya, seperti pelbagai fakulti dan indera tubuh, dalam universiti moden tidaklah selaras dan tersusun. Masing-masing sibuk dengan haluannya sendiri yang tidak ada akhir; setiap bahagian melaksanakan 'kehendak-bebas'-nya sendiri, tidak ada kesatuan kehendak sebagai wujud yang satu, kerana memang tidak ada yang namanya 'Wujud' – semuanya adalah 'kemenjadian'. Dapatkah seseorang dinilai sihat dan waras apabila ia memikirkan18 Jurnal Terjemahan Alam & Tamadun Melayu suatu hal dan pada saat yang sama ia mengakui sesuatu yang sama sekali berbeza dengan apa yang difikirkannya, mengatakan sesuatu yang lain sama sekali, mendengar suara yang berbeza, tetapi juga melihat hal yang berbeza? Universiti moden adalah contoh terbaik manusia dalam keadaan zulm, dan keadaan semacam itu dipelihara dengan cara menganjurkan, mengangkat dan membenarkan keraguan serta dugaan sebagai perangkat epitemologi untuk penyelidikan saintifik. Kitab Suci al-Qur'an berulang kali menolak kaedah sedemikian, melabelnya sebagai lawan kepada ilmu. Oleh itu keraguan, dugaan dan tekaan, pertengkaran dan perdebatan, kecenderungan fikiran dan jiwa ke arah nafsu tabii, umumnya semua itu dipandang tercela – lebih-lebih lagi kalau diterapkan dalam dan menyamar sebagai ilmu.
Kita harus mencatat hakikat penting bahawa dalam kebudayaan dan peradaban Barat, dan merujuk kepada sosiologi ilmu, Barat telah mendefinisikan ilmu dalam pengertian sebagai usaha sains untuk mengendalikan alam dan masyarakat. Dalam hal manusia sebagai individu, Barat tidak lagi memberi perhatian atau merealisasikan usaha perbaikan, pengenalan dan peningkatan keperibadiannya serta hasratnya mempelajari aturan Ilahi di dunia dan keselamatan. Padahal perkara ini adalah tujuan yang paling penting – yang bermaksud hakikat sejati – dari ilmu. Hal ini berlaku kerana bahawa Barat tidak mengakui Realiti untuk mengarahkan pandangannya, tidak ada satu Kitab Suci yang dapat menegaskan dan menunjukkan dalam kehidupan, tidak ada seorang pembimbing, seorang manusia universal, yang katanya, perbuatannya, tindakannya serta seluruh kehidupannya dapat dijadikan contoh teladan dalam kehidupan. Sebagai orang Islam, kita tidak boleh mengabaikan hakikat yang penting ini; kerana dalam Islam terkandung tiga asas ilmu itu serta amalan yang disebut tadi, dan kerana alasan itu ilmu diklasifikasikan kepada dua jenis dan menjelaskan konsep ilmu prasyarat harus menjadi asas dan teras bagi semua pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Masukkan Komentar Disini :)