Jumat, 08 April 2011

induksi bacon

induksi bacon

Epistomologi Induktivisme Francis Bacon
(Sebuah Upaya Re-Transformasi Metode Berpikir Dalam Pendidikan (Islam))

A. PENDAHULUAN
Semenjak di mulainya peradaban human being berkembang di bumi, semenjak itu pulalah proses pemikiran berkembang. Dalam tahapannya cara-cara ataupun metode yang dikembangkan oleh manusia dalam proses berpikir senantiasa semakin mengalami kemajuan. Peradaban cara berpikir (filsafat) yang maju lebih dahulu berkembang di Yunani (Greek), hal ini bisa dibuktikan dengan catatan historis para filosuf seperti Aristoteles, Plato, Archimides dan filosuf lainnya. Keberadaan mereka setidaknya menjadi sumber referensi sejarah yang menandai kemunculan dari peradaban berpikir manusia yang pertama kalinya. Proses berpikir yang disertai kontemplasi pada akhirnya menjawab pertanyaan-pertanyaan akal manusia yang pada akhirnya melahirkan ilmu pengetahuan. Dalam hal ini tercipta sebuah epistomologi.
Epistomologi merupakan cabang dari filsafat selain ontologi. Mengutip Akhyar Yusuf, Aristoteles memberikan definisi Epistomologi sebagai suatu kumpulan yang sistematis dari pengetahuan rasional dengan obyeknya sendiri yang tepat (an organized body of rational knowledge with its proper object)[1] Dijelaskan pula bahwa epistomologi pada dasarnya merupakan satu upaya evaluatif dan kritis tentang pengetahuan manusia. Atas dasar ini maka lahirlah beberapa aliran-aliran epistomologi, diantara epistomologi yang terkenal adalah epistomologi empirisme. Tokoh-tokoh epistomologi empirisme klasik antara lain; Francis Bacon, J. S. Mill, John Locke, Berkeley, dan David Hume, mereka inilah yang berjasa dalam mendirikan ilmu pengetahuan moderen, dengan memunculkan metode empiris-eksperimental, pada akhirnya menimbulkan perbedaan antara knowledge denganscience.[2]
Francis Bacon, menggunakan metode induktif sebagai akibat ketidak puasannya terhadap metode deduktif[3] Aristoteles. Dalan teori pengetahuan ilmiah moderen Bacon dikenal sebagai seorang sosok yang kontroversial. Bahkan menurut para pendiri masyarakat moderen, dia dianggap seorang nabi dalam sebuah metodologi ilmiah yang baru. Bacon adalah seorang filosuf yang selalu berinovasi. Seorang inovator sekaligus seorang juara terkait dengan metode percobaan induktifnya yang terkenal. Ia mengkritisi metode Aristoteles yang beraliran deduktif. [4] Dalam penggunaan metodenya Bacon sangat menekankan pada induksi-empiristik dan menjadikan metode ini sebagai satu-satunya metode ilmiah yang sah dalam pengembangan ilmu. Ia menulis Novum Organum (Metode baru) sebagai tandingan terhadap logika Aristoteles yang terdapat dalam karya Organom. Pemikirannya tentang ilmu pengetahuan sangat terkenal pragmatis fungsional. Menurutnya ilmu hanya bermakna jika dapat diterapkan secara praktis. Nasr[5] menulis: “Bacon berperan penting dalam mempopulerkan sains baru yang lebih berperan sebagai pencarian kekuasaan yang mendominasi alam (power to dominate nature) daripada memahami alam sehingga berakibat pada pemaksaan alam untuk melayani kepentingan manusia.”
Menarik kiranya untuk mengetahui pembahasan induktivisme Bacon yang dalam perkembangan periode berikutnya banyak diikuti oleh ilmuan barat lainnya seperti Boyle, Newton, John Lock dan tokoh empirisme lainnya. Dalam pembahasan ini penulis akan mencoba mendiskripsikan pertentangan induktivisme Bacon dengan metode berpikir deduktif Aristotelian yang sebelum masanya menjadi pegangan teori berpikir para ilmuan. Diyakini atau tidak, induktivisme sangat membantu dalam proses lahirnya revolusi-revolusi di barat; seperti revolusi industri di Inggris, revolusi sosial di Prancis dan Amerika.

B. KEHIDUPAN FRANCIS BACON
Francis Bacon[6] (1561-1626) adalah anak dari Sir Nicholas Bacon salah seorang pengawal Ratu Elizabeth I. Ia memasuki sekolah Trinity College pada usia tiga belas tahun dan di sinilah ia mengembangkan sebuah pemikiran antipati terhadap filsafat Aristoteles. Pada kelanjutannya, ia melanjutkan studi tentang hukum di Gray Inn.
Pada usia mudanya, Bacon telah mempelajari pemikiran Plato dan Aristoteles di Trinity College Cambridge pada tahun 1573. Tahun 1576, Bacon menyelesaikan sekolahnya dan langsung berkunjung ke Paris. Pada tahun 1580, Bacon kembali ke London setelah mendapat kabar bahwa ayahnya meninggal dunia. Untuk mengisi waktunya, Bacon bekerja sebagai pengacara, dan pada tahun 1586 ia diangkat sebagai penasihat negara. Setelah 11 tahun bekerja, Bacon dituduh oleh parlemen menerima suap dan akhirnya dimasukan ke penjara pada tahun 1598. Selama dalam tahanan, Bacon sangat aktif melakukan kajian intelektual dan eksperimen ilmiah.[7]
Bacon menghabiskan waktunya di penjara kurang lebih selama lima tahun. Hukuman ini diberikan oleh pemerintahan ratu Elizabeth I setelah mempertahankan prinsip yang bertentangan dengan pihak kerajaan. Selama di penjara ia juga dijauhkan dari kehidupan publik, namun akhirnya ia mendapatkan remisi dari pihak kerajaan setelah beberapa waktu lamanya. Selama di penjara ia sempat menulis beberapa karya; Great Instauration, yaitu sebuah reformulasi tentang sains. Sumbangannya yang terpenting dalam Great Instauration adalah Novum Organum yang diterbitkan pada tahun 1602.Outline dalam karya tersebut adalah “sebuah metode ilmiah untuk mengganti metode Aristoteles. Dia juga menciptakan sebuah imej berpengaruh tentang inquiry ilmiah yang kooperatif dalam New Atlantis (1627). Pada akhir usianya, Setelah menderita sakit yang cukup serius, tepatnya pada tanggal 9 April 1626, Bacon meninggal dunia di kota kelahirannya London.

C. KRITIK FRANCIS BACON TERHADAP ARISTOTELES
Teori induktif Bacon lahir sebagai jawaban atas kelemahan dari teori deduksi yang sebelumnya sering dipakai oleh Arisototelian. Bacon, walaupun benar-benar menerima teori prosedur ilmiah Aristoteles, di sisi lain ia mengkritik tajam terhadap cara dari prosedur ini diambil. Dalam teori induktifnya Bacon mempermasalahkan tiga indikasi:pertama, Aristoteles dan pengikutnya mempraktekan koleksi data yang tidak kritis. Dalam hubungan ini Francis Bacon sangat menekankan nilai dari peralatan (instruments) ilmiah dalam pengumpulan data. Kedua, Aristotelian cenderung menjeneralisasikan dengan terlalu terburu-buru. Dengan memberikan sedikit observasi-observasi, mereka juga menggunakan prinsip-prinsip tersebut untuk mendeduksi scope yang lebih sedikit. Ketiga, Aristoteles dan pengikutnya memberlakukan induksi dengan penghitungan yang sederhana, yang mana hubungan-hubungan dari sifat-sifat tersebut ditemukan untuk mempertahankan beberapa individu-individu dari sebuah tipe yang diberikan, dinyatakan sebagai pegangan bagi keseluruhan individu dengan tipe tersebut. Namun, dalam praktiknya hal ini sering menghantarkan pada kesimpulan-kesimpulan yang salah, di mana hal-hal yang negatif tidak diambil sebagai catatan.[8]
Menurut Bacon, selain dengan mudah menerima ide-ide dari yang terdahulu, para ilmuan seharusnya menyelidiki alam dengan pengamatan yang penuh kehati-hatian dan juga menyertainya denga percobaan-percobaan. Mereka diharapkan mampu mengumpulkan bukti-bukti sebanyak mungkin tentang fenomena yang sedang mereka pelajari, menggunakan eksperimen-eksperimen manakala mungkin untuk menjeneralisasikan fakta-fakta tambahan. Bagaimanapun juga, bukti-bukti tersebut juga harus dikumpulkan, selanjutnya mereka diharuskan memegangnya dengan penuh kehati-hatian dan memberikan kesimpulan-kesimpulan general dari bukti-bukti tertentu (baca: penting).[9]
Dinyatakan di sini eksperimen adalah sangat penting dalam proses pengambilan kesimpulan dari sebuah kesimpulan suatu teori. Kritik Bacon walau bagaimanapun bisa dibenarkan mengingat fakta yang dikumpulkan sebagai bukti untuk melakukan generalisasi adalah sangat penting keberadaannya, karena hal ini juga bisa meminimalisir kesalahan dari kesimpulan yang diambil setelah proses percobaan.
Di sisi yang lainnya Bacon menyatakan bahwa sains tidak bisa melewati cara deduksi karena sains harus di perhatikan bersama dengan inquiri yang murni dan sederhana (mudah), inquiri tersebut tidak dibebani dengan praduga yang diyakini. Bacon juga memegang teguh prinsip keilmuan bahwa sains harus mulai pada gaya ini, selanjutnya harus mengembangkan metode inquiri yang dapat diandalkan.[10]



D. INDUKTIVISME FRANCIS BACON
Secara umum induksi dijelaskan sebagai proses berpikir di mana orang berjalan dari yang kurang universal menuju yang lebih universal, atau secara lebih ketat lagi dari yang individual/ partikular menuju ke yang umum/ universal. Induksi bisa mengantarkan manusia pada tingkatan inderawi dan individual menuju ke tingkatan intelektual dan universal.[11]
Dalam segala bentuknya yang lebih khusus induksi merupakan persoalan generalisasi empiris, yakni kita berargumen bahwa karena sesuatu telah terbukti benar dalam sejumlah kasus yang diamati, besar kemungkinan yang diperoleh tidak bersifat pasti (kecuali dalam kasus-kasus khusus), tapi bisa menjadi sangat besar kemungkinannya dan seluruh prediksi rasional kita mengenai masa depan tergantung pada referensi ini. Pengambilan kesimpulan dengan induksi sudah pasti tidak sekedar masalah empiris karena kita menggunakannya untuk menyimpulkan apa yang belum kita amati.[12]
Merujuk pada pernyataan David Hume[13] bahwa argumentasi yang bersifat induktif bersandar pada suatu keaneka ragaman, kebiasaan dan pengalaman, hal ini sesuai dengan apa yang menjadi stressing point Francis Bacon dengan menekankan aspek eksperimen sebagai hal penting untuk menaklukan alam dengan rahasianya (to torture nature for her secrets). Dalam hal ini Bacon menyebutnya sebagai komposisi sejarah alamiah dan eksperimental (the composition of a natural anda experimental history). Menurutnya, eksperimen sangat penting karena jika kita dengan sederhana mengamati tentang apa-apa yang terjadi di sekitar kita, maka kita dibatasi dalam data-data yang kita kumpulkan; ketika kita menampilkan sebuah percobaan kita mengendalikan keadaan pengamatan sejauh mungkin dan memanipulasi keadaan dari percobaan untuk melihat apa yang terjadi dalam lingkungan-lingkungan di mana hal sebaliknya tidak pernah terjadi. Eksperimen memungkinkan kita untuk menanyakan “apa yang terjadi jika ...?”. Bacon menyatakan bahwa dengan mengadakan percobaan-percobaan kita mampu menaklukan alam dan rahasianya.[14] Satu hal yang terpenting adalah bahwa ‘banyak hal-hal’ yang terpelihara/ terjaga. Jadi, apa yang orang-orang perlu pelajari dari alam ini ialah bagaimana menggunakannya secara penuh untuk mendominasi dengan keseluruhan alam tersebut dan juga atas orang lain.[15]
Berdasarkan pemikirannya tersebut, Bacon merumuskan dasar-dasar berpikir induktif modern. Menurutnya, metode induksi yang tepat adalah induksi yang bertitik pangkal pada pemeriksaan yang diteliti dan telaten mengenai data-data partikular, yang pada tahap selanjutnya rasio dapat bergerak maju menuju penafsiran terhadap alam (interpretatio natura). Untuk mencari dan menemukan kebenaran dengan metode induksi, Bacon mengemukakan ada dua cara yang harus dilakukan, yaitu:
1) Rasio yang digunakan harus mengacu pada pengamatan inderawi yang partikular, kemudian mengungkapnya secara umum.
2) Rasio yang berpangkal pada pengamatan inderawi yang partikular digunakan untuk merumuskan ungkapan umum yang terdekat dan masih dalam jangkauan pengamatan itu sendiri, kemudian secara bertahap mengungkap yang lebih umum di luar pengamatan.[16]
Dalam filsafat Whitehead induksi bukanlah proses menarik hukum-hukum dari observasi yang diulang-ulang tetapi dengan cara membuat dugaan tentang ayat-ayat masa depan yang didasarkan pada sifat-sifat masa lampau dari benda-benda yang diobservasi. Maka hal ini melibatkan imajinasi dan akal. Menurutnya, generalisasi ide harus sampai pada suatu sistem ide yang koheren, logis dan niscaya.[17]
Untuk menghindari penggunaan metode induksi yang keliru, Bacon menyarankan agar menghindari empat macam idola atau rintangan dalam berpikir, yaitu:
1) Idola tribus (bangsa) yaitu prasangka yang dihasilkan oleh pesona atas keajekan tatanan alamiah sehingga seringkali orang tidak mampu memandang alam secara obyektif. Idola ini menawan pikiran orang banyak, sehingga menjadi prasangka yang kolektif.
2) Idola cave (cave/specus = gua), maksudnya pengalaman dan minat pribadi kita sendiri mengarahkan cara kita melihat dunia, sehingga dunia obyektif dikaburkan.
3) Idola fora (forum = pasar) adalah yang paling berbahaya. Acuannya adalah pendapat orang yang diterimanya begitu saja sehingga mengarahkan keyakinan dan penilaiannya yang tidak teruji.
4) Idola theatra (theatra = panggung). Dengan konsep ini, sistem filsafat tradisional adalah kenyataan subyektif dari para filosofnya. Sistem ini dipentaskan, lalu tamat seperti sebuah teater.[18]
Selanjutnya adalah penting untuk memahami bahwa dalam pendekatan Induktif Bacon, kita diminta untuk memulai dengan bagian-bagian yang bisa diamati dan kemudian berpikir ke dalam pernyataan-pernyataan umum ataupun hukum-hukum, bertolak belakang dengan pendekatan scholastik Aristotelian, karena induksi tersebut menuntut verifikasi bagian-bagian spesifik sebelum sebuah keputusan dibuat.[19]

E. KONSTRUKSI INDUKTIVISME BACON
1. Sumber dan Hakikat Pengetahuan
Terkait dengan sumber dan hakikat pengetahuan dalam perspektif epistomologi Bacon, Kita bisa mengabstraksikan metode Bacon secara simple dan sampai pada sebuah catatan sederhana tentang metode ilmiah. Pada intinya, induktivisme Bacon berakar pada dua pilar; Observation dan induction.[20] Observasi yang dilakukan dalam memperoleh knowledge harus diambil tanpa praduga (prejudice) atau pre-konsepsi (preconception). Ini menegaskan pemikiran Bacon yang manisbikan pengetahuan akal yang telah ada – anggapan tanpa rasionalitas – dan bahwa kita juga diwajibkan untuk mencatat atau merekam hasil-hasil dari data-data pengalaman sensorik. Bentuk apa yang dapat kita lihat, kita dengar dan kita cium, apakah hal tersebut kita bisa dapatkan di dunia, atau pada lingkungan-lingkungan (circumstances) dari percobaan-percobaan. Hasil-hasil dari pengamatan diungkapkan dalam sesuatu yang dinamakan pernyataan observasi (observation statments).[21] Dari sebuah kesimpulan pengamatan tersebut bisa digunakan sebagai landasan bagi hukum-hukum dan teori-teori ilmiah.

2. Alat Pengetahuan
Apa yang menjadi tools oleh Bacon dalam menyusun ataupun memperoleh pengetahuan adalah dengan memfungsikan sarana panca indera manusia. Pengalaman melalui penglihatan, penciuman, dan merasakan bisa mampu menghantarkan manusia pada sebuah proses pencapaian pengetahuan.dan tentunya ini dilakukan dengan melibatkan akal. Pada sebuah kesimpulan di sini, penulis dapat melihat tiga susunan cara dalam memperoleh pengetahuan melalui epistomologi Bacon: indera, digunakan untuk menangkap fenomena-fenomena realitas yang selanjutnya diobservasi secara terus menerus dan berkelanjutan. Selanjutnya data ini dipersepsikan oleh akal melalui sebuah kesimpulan yang terikat pada fenomena pengamatan.
Pada akhir tahapan ini Bacon menciptakan sebuah teori epistomologi induktivisme sebagai kesimpulan dari observasi tersebut. Teori Induksi ini, dalam pengertian luas hanyalah merupakan suatu bentuk pemikiran (reasoning) yang bukan deduktif – cenderung menentang dan attacking - tapi dalam pengertian lebih sempit di mana Bacon gunakan, adalah suatu bentuk dari pemikiran di mana kita menjeneralisasikan dari sebuah keseluruhan pengamatan terhadap kumpulan bagian-bagian penting untuk sebuah kesimpulan umum.[22] Karena induksi sendiri memiliki beberapa sifat yang tidak boleh dihilangkan atau diabaikan.
Diantara sifat-sifat yang tidak boleh diabaikan tersebut adalah:
1. Bukan subjektivitas, sampai menjadi tergantung dari perasaan dan keinginan pribadi, melainkan mengenal objek dalam dirinya sendiri.
2. Bukan pragmatis, sampai mencari untung atau kegunaan praktis tetapi melihat objek apa adanya.
3. Bukan abstrak, sampai terjadi hal konkret dan individual tigak digubril lagi, tetapi justru situasi dan lingkungan konkret dipahami.[23]
3. Teori dan Pengujian Kebenaran Pengetahuan
Secara garis besar induktivisme Bacon jelas sekali menentang Deduktivisme Aristoteles Namun demikian, Induksi Bacon sendiri juga memiliki kelemahan sebagaimana halnya deduksi Aristoteles. Antara lain bahwa Metode induksi yang diprakarsai Bacon untuk memperoleh ilmu pengetahuan berdasarkan dari hasil pengamatan, pemikiran dan uji coba yang dilakukannya. Problem yang seringkali dipermasalahkan adalah ketidakmampuannya mewujudkan kemajuan ilmu pengetahuan dari metode induksi yang digunakannya, sebab dia hanya tahu tentang apa yang telah dicapai orang pada zamannya saja. Selain itu, metode yang digunakannya tersebut masih memperlihatkan hal-hal yang bertentangan, misalnya penolakan terhadap prasangka, tetapi di lain waktu ia menggunakan prasangka untuk menemukan pengetahuan.[24]
Di samping itu penalaran induktif yang digunakan pada empirisme dan induktivisme bukan merupakan prediksi yang benar-benar akurat. Induktif bisa dihasilkan karena pengulangan-pengulangan secara terus menerus. Tetapi berapa pun banyaknya observasi/pengamatan, tetap saja generalisasi yang didapat sukar dibuktikan atau salah.[25] Misalkan seekor ayam diberi makan oleh pemiliknya sedemikian sehingga ayam tersebut setiap kali pemiliknya mendekat selalu tahu bahwa saat itulah ia akan disuguhi makanan yang akan mengenyangkan dirinya. Dengan demikian ayam (secara instingtif atau behavioristis) memiliki pengetahuan atas suguhan makanan yang akan dimakan lewat kasus pembiasaan yang diulang ulang. Ayam sampai pada kesimpulan bahwa majikan datang sama dengan makanan datang. Ini merupakan kesimpulan umumnya. Namun suatu ketika majikan datang dan sang ayampun mendekat. Bukan makanan yang di dapat oleh sang ayam tapi tebasan pisau yang meneteskan darah dilehernya. Majikan datang sama dengan maut. Dengan demikian kesimpulan umum bahwa majikan datang sama dengan makanan menjadi sebuah pengetahuan yang salah dan menjerumuskan sang ayam itu sendiri.
Kiranya kita bisa melengkapi kekritisan gaya induktif lebih lengkap lagi dengan memasukan beberapa konstruksi catatan yang disarankan oleh Karl Popper,[26] di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Tersusun atas sebuah eksposisi yang jelas tentang suatu permasalahan.
2. Survei yang terperinci atas dasar hipotesis-hipotesis yang relevan.
3. Pernyataan spesifik dari hipotesis.
4. Deskripsi tentang eksperimen beserta hasil-hasilnya.
5. Sebuah evaluasi; apakah situasi permasalahan telah mengalami perubahan atau tidak.
Sisi lain yang perlu dikritisi seperti keyakinannya pada metode induksinya, bahwa metode yang digunakannya sangat berbeda dengan metode induksi sebelumnya yang hanya mempergunakan kelompok yang tujuan rujukannya sudah terbatas dan mudah dicapai. Bacon mengklaim bahwa metode induksinya yang baru melampaui metode induksi yang lalu, sebab metodenya menuju kepada generalisasi “semua” hal, tidak hanya kepada beberapa ciri yang dimiliki oleh anggota-anggota suatu golongan yang terbatas saja.

F. RELEVANSI INDUKTIVISME BACON DALAM PENDIDIKAN (ISLAM)
Mengembangkan sebuah perspektif filsafat dalam pendidikan tidaklah mudah. Walaupun demikian adalah itu tetap diperlukan jika seseorang ingin menjadi seorang dengan karakter pendidik yang profesional. Perspektif filsafat bisa membantu seseorang melihat interaksi antar sesama siswa-siswa, kurikulum, administrasi dan tujuan-tujuan dalam pendidikan; dengan demikian filsafat menjadi sangat praktis. Lebih penting lagi seorang pendidik memerlukan perspektif filsafat guna memberikan pengertian yang mendalam dan mengarahkan atau menunjukkan kepada pribadi dan usaha-usaha profesional mereka.[27]
Melalui metodenya Bacon telah memberikan jalan bagi terbukanya semangat ilmiah moderen. Diyakini atau tidak metode empiris-eksperimentalnya telah membawa semangat perubahan pada zaman itu, sehingga lahirnya masa renaissance. Dibaratrenaissance telah membuka pertentangan dengan agama (gereja), yang pada akhirnya meruntuhkan feodalisme.[28] Selanjutnya juga diikuti dengan lahirnya tokoh-tokoh sains moderen seperti; Copernicus, Kepler, Galileo, Newton, Lipper-shey, Guericke, Harvey dan lain sebagainya. Mereka inilah yang telah membawa banyak perubahan bagi kemajuan ilmu teknologi bersamaan dengan penemuan-penemuan ilmiah yang mereka hasilkan.[29] Walaupun sejatinya konsep dari metode eksperimen itu sendiri sudah lebih dulu dikembangkan oleh sarjana-sarjana muslim pada abad keemasan Islam, di mana ilmu dan pengetahuan lainnya mencapai kulminasi antara abad IX dan XII M, di sini Bacon mampu mensosiologiskan konsep tersebut dengan amat baik.[30]
Dalam konteks pendidikan kekinian, menurut penulis, metode empiris-eksperimental sudah semakin terasa dampaknya, dimana implementasi tersebut bisa terlihat dari semakin banyaknya perubahan-perubahan kurikulum pendidikan kita. Sistem pembelajaran dengan pola teacher center sudah diganti dengan students center. Hal ini bisa terlihat dari sistem kurikulum pendidikan nasional yang didasarkan pada basic kompetensi yang lebih dikenal dengan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi). Kurikulum ini menuntut untuk menggali kompetensi siswa lebih mendalam. Kompetensi tersebut bisa dicapai dengan banyak melakukan tindakan-tindakan kelas yang selanjutnya akan diobservasi oleh para instruktur kelas atau guru. Lebih jauh lagi, kini sistem pendidikan kita telah menganut kurikulum KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Dalam orientasi kurikukulum yang terakhir ini berupa menciptakan sebuah iklim pendidikan yang terdesentralisasikan. Iklim pendidikan bisa diciptakan dengan upaya pensinergian kemampuan input dan sumber pengetahuan yang berbasis lokal. Ini sangat urgen untuk bisa menghasilkan outputpendidikan yang sesuai dengan harapan tiap satuan pendidikan sebagai penyelenggara pendidikan itu sendiri.

G. PENUTUP
Induktivisme telah mampu menjawab keterbatasan metode berpikir deduksi Aristotelian. Kritik-kritiknya mampu menyajikan berbagai pengetahuan baru yang didasarkan pada empirisme-eksperimental. Karena sifatnya kritikan, maka induktivisme Bacon itu sendiri memiliki beberapa kelemahan, hal ini tidak lepas dari sifat kebenaran ilmu pengetahuan yang tidak bisa dicapai dengan mutlak. Sifat ilmu pengetahuan hanya mampu mengantarkan the thinkers menuju mendekati kepada kebenaran itu sendiri. Ini sesuai dengan pernyataan E. M. Foster yaitu “ i do not believe in Belief”. Dalam pengertian penulis di sini bahwa tidaklah semua yang dipercayai dalam sebuah keyakinan harus dipercayai bagi orang lain pula. Praktisnya, kita senantiasa diharapkan untuk saling menghargai view ilmu pengetahuan dengan tanpa mengabaikan landasan kritis. Dengan demikian akan tercipta dinamika keilmuan yang harmoni dan dinamis.
Sikap tertutup hanya akan membentuk manusia gua sepanjang jalannya waktu, maka dari itu perlu kita membuka wilayah ilmu pengetahuan dengan tetap menjaga nilai-nilai harmoni. Induktivitas bukan hanya satu-satunya metode reasoning yang bisa dibenarkan. Bagaimanapun ia tetap memiliki kelemahan-kelemahan (weakness) yang bisa ditutupi dengan metode berpikir lainnya. Pada akhirnya adalah sebuah tuntutan bagi kita untuk bisa mensinergikan semuanya dalam segala ranah ilmu pengetahuan; agama, sosial, pendidikan dan lain sebagainya.



DAFTAR PUSTAKA

Arifullah, Mohd, Rekonstruksi Citra Islam; di Tengah Ortodoksi Islam dan Perkembangan Sains Kontemporer, Jakarta: GP Press, 2007.
Baggini, Julian., Lima Tema Utama Filsafat; Pengetahuan, Filsafat Moral, Filsafat Agama, Filsafat Pikiran, dan Filsafat Politi, New York: Palgrave MacMillan, 2002.
Bakker, Anton. dan Zubari, Achmad Charis., Metodologi Penelitian Filsafat,Yogyakarta: Kanisisus, 1990.
Gemon, Howard A. dan Craver, Samuel M.., Philosophical Foundations of Education, ed 5, New Jersey: Merill Publishing Company, 1995.
Hadi, Hardonono., Jatidiri Manusia; Berdasar Filsafat Empirisme Whitehead,Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Heriyanto, Husain., Paradigma Holistik; Dialog Filsafat, Sains dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead, Jakarta: TERAJU, 2003.
Karl Popper, Realism and The Aim of Science, .London: Routledge, 2000.
Kearney, Richard dan Rainwater, Mara., Continental Philosophy Reader, London: Routledge, 1996.
Ladyman, James., Understanding Philosophy of Science, (New York: Routledge, 2002), hal.23.
Laer, Henry Van., Filsafat Ilmu; Ilmu Pengetahuan Secara Umum, Yogyakarta: LPMI, 1995. Ewing, Persoalan-persoalan Mendasar Filsafat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Losee, John., A Historical Introduction to the Philosophy of Science, New York: Oxford University, 2001.