Kamis, 22 Desember 2011

Konsep Pendidikan Naquib Al-attas


Biografi Syed Muhamad Naquib Al-Attas
Syed Naquib Al-Attas dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 5 September  1931. Pada waktu Indonesia berada di bawah kolonialisme Belanda. Bila dilihat dari garis  keturunannya, Al-Attas termasuk orang yang beruntung secara inhern. Sebab dari kedua  belah pihak, baik pihak ayah maupun pihak ibu merupakan orang-orang yang berdarah biru.  Ibunya yang asli Bogor itu masih keturunan bangsawan Sunda. Sedangkan pihak ayah masih  tergolong bangsawan di Johor. Bahkan mendapat gelar sayyed yang dalam tradisi Islam orang yang mendapat gelar tersebut merupakan keturunan langsung dari Nabi Muhammad.[1] (Daud, 2003)
Dari pihak bapak, kakek Syed Muhamad Naquib yang bernama Syed Abdullah Ibn  Muhsin Ibn Muhamad Al-Attas adalah seorang wali yang pengaruhnya tidak hanya terasa di  Indonesia, tetapi juga sampai ke negeri Arab. Muridnya, Syed Hasan Fad'ak, kawan  Lawrence of Arabia, dilantik menjadi penasihat agama Amir Faisal, Saudara Raja Abdullah  dari Yordania. Neneknya, Ruqayah Hanum, adalah wanita Turki berdarah aristokrat yang  menikah dengan Ungku Abdul Majid, adik Sultan Abu Bakar Johor (w.1895) yang menikah  dengan adik Ruqayah Hanum, Khadijah, yang kemudian menjadi Ratu Johor.[2]
Di sini ia kemudian melanjutkan pendidikan di sekolah Al-Urwatul-Wutsqa,  Sukabumi selama lima tahun. Di tempat ini, Al-Attas mulai mendalami dan mendapatkan  pemahaman tradisi Islam yang kuat, terutama tarekat. Hal ini bisa dipahami, karena saat itu,  di Sukabumi telah berkembang perkumpulan tarekat Naqsabandiyah.[3]
Setelah perang dunia II pada tahun 1946 Al-Attas kembali ke Johor untuk merampungkan pendidikannya, pertama di bukit Zahrah School kemudian di English  College. Setelah menamatkan sekolah menengah pada 1951, Al-Attas mendaftar di Resimen  Melayu sebagai kader dengan nomor 6675. Al-Attas dipilih oleh jenderal Sir Gerald Templer ketika itu menjabat sebagai British High Commisioner di Malaya, -untuk mengikuti  pendidikan militer pertama di Eton Hall, Chester, Wales, kemudian di Royald Military  Academy, Sandhurst, Inggris (1952-1955). Selama di Inggris, dia berusaha memahami aspek aspek yang mempengaruhi semangat dan gaya hidup masyarakat Inggris. Ketika di  Sandhurst, dia membina persahabatan dengan beberapa orang peserta pendidikan yang lain,  satu diantaranya adalah Syarif Zaid ibn Syakir, keponakan Raja Hussein dari Yordania yang  kelak akan menjadi Kepala Militer kemudian Perdana Menteri Yordania.[4]
Terusik oleh panggilan nuraninya untuk mengamalkan ilmunya yang telah  diperolehnya di Sukabumi, sekembalinya ke Malaysia Al-Attas memasuki dunia militer  dengan mendaftarkan diri sebagai tentara kerajaan dalam upaya mengusir penjajah Jepang.  Dalam bidang kemiliteran ini Al-Attas telah menunjukkan kelasnya, sehingga atasannya  memilih dia sebagai salah satu peserta pendidikan militer yang lebih tinggi. Dia belajar di berbagai sekolah militer di Inggris. Bahkan ia sempat mengenyam pendidikan akademi  militer yang cukup bergengsi di Inggris.
Setelah Malaysia merdeka (1957), Al-Attas mengundurkan diri dari dinas militer dan  mengembangkan potensi dasarnya yakni bidang intelektual. Untuk itu, Al-Attas dapat masuk  Universitas Malaya selama dua tahun. Al-Attas telah menulis dua buku ketika di Universitas  Malaya, buku yang pertama adalah Rangkaian Ruba'iyat, termasuk diantaranya adalah karya  sastra pertama yang dicetak Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur pada 1959. buku  yang kedua, yang menjadi karya klasik, adalah some aspect of shufism as Understood and  practiced among the Malays, yang diterbitkan Lembaga Penelitian Sosiologi Malaysia pada  tahun 1963, sedemikian berharganya buku yang kedua ini sehingga tahun 1959 pemerintahan  Kanada melalui Canada Councill Fellowship, memberinya beasiswa selama tiga tahun,  terhitung sejak tahun 1960, berkat kecerdasan dan ketekunannya, dia dikirim oleh pemerintah  Malaysia untuk melanjutkan studi di Institute of Islamic Studies, McGill University, Canada.  Dalam waktu yang relatif singkat, yakni 1959-1962, ia memperoleh gelar Master dengan  tesis Al-Raniriy and the Wujudiyah of the 17 Century Aceh. Dia sangat tertarik dengan  praktik sufi yang berkembang di Indonesia dan Malaysia, sehingga wajar bila tesis yang  diangkat adalah konsep wujudiyah Al Raniry. Salah satunya adalah dia ingin membuktikan  bahwa Islamisasi yang berkembang di kawasan tersebut bukan dilaksanakan oleh kolonial  Belanda, melainkan murni dari upaya umat Islam sendiri.
Belum puas dengan pengembaraan intelektualnya, Al-Attas kemudian melanjutkan  studi ke School of Oriental and African Studies di Universitas London. Disinilah di bawah  bimbingan Profesor Arbery dan Dr. Martin Lings, seorang profesor asal Inggris yang  mempunyai pengaruh besar dalam diri Al-Attas walaupun hanya terbatas pada tataran  metodologis. Selama kurang lebih dua tahun (1963-1965), dengan bimbingan Martin Lings,  Al-Attas menyelesaikan kuliahnya dan mempertahankan disertasinya yang berjudul The  Mysticism of Hamzah Fanshuri dengan nilai yang sangat memuaskan. Disertasi tersebut  merupakan karya terpenting dan komprehensif mengenai Hamzah Fansuri, sufi terbesar atau  bahkan sangat kontroversial di dunia Melayu.
Al-Attas kembali ke Malaysia pada tahun 1965, termasuk hanya beberapa orang  malaysia yang memperoleh gelar Doctor of Philosophy dan yang mendapatkannya dari  Universitas London, sekembalinya ke Malaysia, Al-Attas dilantik menjadi ketua Jurusan  sastra di Fakultas kajian Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur. Dari tahun 1968 sampai  pada 1970, dia menjabat sebagai Dekan Fakultas Sastra di kampus yang sama.
Memasuki tahapan pengabdian kepada Islam, Al-Attas memulai dengan jabatan di  jurusan Kajian Melayu pada Universitas Malaya. Hal ini dilaksanakan tahun 1966-1970. Di  sini dia menekankan arti pentingnya kajian sejarah Melayu, sebab mengkaji sejarah Melayu  dengan sendirinya juga mendalami proses Islamisasi di Indonesia dan Malaysia. Karya-karya pujangga Melayu banyak yang berisi ajaran-ajaran Islam terutama tasawuf. Pada tahun 1970, dalam kapasitasnya sebagai salah seorang pendiri senior Universitas kebangsaan Malaysia (UKM), tidak bisa terlepas dari peranannya. Karena Al-Attas sangat  intensif dalam memasyarakatkan budaya Melayu, maka bahasa pengantar yang digunakan  dalam Universitas tersebut adalah bahasa Melayu. Hal ini, oleh Al-Attas dimaksudkan agar d samping melestarikan nilai-nilai keislaman juga menggali akar tradisi intelektual Melayu  yang sarat dengan nilai Islam. Bahkan pada pertengahan tahun 70-an Al-Attas menentang  keras kebijaksanaan pemerintah yang berupaya menghilangkan pengajaran Bahasa Melayu  (Jawi), di pendidikan dasar dan lanjutan Malaysia. Sebab, dengan penghilangan tersebut  berarti telah terjadi penghapusan sarana Islamisasi yang paling strategis.
Al-Attas sendiri yang telah merancang dan mendesain bangunan kampus ISTAC  tahun 1991, pada tahun 1993 ia diminta menyusun tulisan klasik yang unik untuk kehormatan Al-Ghazali. Pada tahun 1994, dia diminta menggambar auditorium dan masjid ISTAC  dengan lengkap dan dekorasi interior yang bercirikan seni arsitektur Islam yang dikemas  dalam sentuhan tradisional dan gaya kosmopolitan.
Al-Attas sendiri yang telah merancang dan mendesain bangunan kampus ISTAC  tahun 1991, pada tahun 1993 ia diminta menyusun tulisan klasik yang unik untuk kehormatan  Al-Ghazali. Pada tahun 1994, dia diminta menggambar auditorium dan masjid ISTAC  dengan lengkap dan dekorasi interior yang bercirikan seni arsitektur Islam yang dikemas  dalam sentuhan tradisional dan gaya kosmopolitan.
Banyak sarjana lokal dan asing serta berkunjung yang kagum dengan keseriusan dan  cita-cita ISTAC yang telah dituangkan Al-Attas dalam desain bangunannya. Gulzar Haider,  Profesor arsitektur terkenal dari Universitas Carleton Ontario, Kanada, yang selama beberapa  tahun ikut mendiskusikan rencana pembangunan ISTAC dengan Al-Attas, telah melihat  sketsa dan desain ISTAC yang dibuat Al-Attas beserta miniaturnya. Katanya, kemampuan  imajinsi Al-Attas sangat baik dalam memilih dan menyusun kalimat dalam setiap tutur  katanya.[5]
Peranan dan posisi di Malaysia, Al-Attas merupakan seorang pakar yang handal. Dari  tahun 1970-1984, dia dipilih menjadi ketua Lembaga bahasa dan Kesusasteraan Melayu di  Universitas Kebangsaan Malaysia. Kemudian ia penah menjabat sebagai Ketua Lembaga Tun  Abdul Razak untuk Studi Asia Tenggara (Tun Abdul Razak Chair of South East Asian  Studies) di Universitas Ohio, Amerika untuk periode 1980-1982. Sejak tahun 1987, dia  menjadi pendiri ISTAC (International Institute of Islamic Tough and Civilization) Malaysia,  sekaligus menjadi rektornya.[6]
Konsep Serta Kontribusinya terhadapp Dunia Pendidikan
Corak pendidikan yang diinginkan oleh Islam ialah pendidikan yang mampu membentuk "manusia yang unggul secara intelektual, kaya dalam amal, serta anggun dalam moral dan kebijakan". Untuk meraih tujuan ini diperlukan suatu landasan filosofis pendidikan  yang sepenuhnya berangkat dari cita-cita al-Qur'an tentang manusia. Oleh karena itu,  pemikiran tentang pembaruan pendidikan Islam haruslah terlebih dahulu memperjelas kerangka filosofisnya itu.
Pada persoalan kurikulum keilmuan misalnya, selama ini pendidikan Islam masih  sering hanya dimaknai secara parsial dan tidak integral (mencakup berbagai aspek  kehidupan), sehingga  peran  pendidikan Islam di era global sering hanya difahami sebagai  pemindahan pengetahuan (knowladge) dan nila-nilai (value) ajaran Islam yang  tertuang  dalam  teks-teks  agama,  sedangkan  ilmu-ilmu social (Social Science) dan ilmu-ilmu alam  (Nature Science) dianggap pengetahuan yang umum. Padahal Islam tidak  pernah  mendikotomikan (memisahkan  dengan tanpa terikat) antara ilmu-ilmu agama  dan umum.  Semua ilmu dalam Islam dianggap penting asalkan berguna bagi kemaslahatan umat manusia.
Dalam Islam dikenal dua sistem pendidikan yang berbeda  proses dan tujuannya.  Pertama, sistem pendidikan tradisional yang hanya  sebatas mengajarkan pengetahuan klasik  dan kurang perduli terhadap peradaban teknologi modern,  ini sering  diwarnai corak pemikiran timur tengah. Kedua, sistem pendidikan modern yang diimpor dari barat yang  kurang memperdulikan keilmuan Islam klasik. Bentuk ekstrim dari bentuk kedua ini berupa  Universitas Modern yang sepenuhnya sekuler dan karena itu, pendekatannya bersifat non-agamis (dalam konsepnya Dewesternisasi). Para alumninya sering tidak menyadari warisan ilmu klasik dari tradisi mereka  sendiri.
Dapat dirasakan bahwa selama ini ada sesuatu yang kurang beres dalam dunia  pendidikan Islam dari segi konsep (kurikulum, proses, tujuan) dan aktualisasinya. Oleh  karena itu perlu adanya rekonseptualisasi, reformulasi, reformasi, rekontruksi/penataan  kembali di dalamnya. Hal ini amat perlu dilakukan, dan sebenarnya ini sudah disadari dan  diupayakan oleh para pemikir Muslim, terbukti dengan diadakannya beberapa kali konferensi  mengenai pendidikan Islam tingkat internasional.
Konferensi internasional mengenai pendidikan Islam diselenggarakan sebanyak  enam  (6) kali di beberapa Negara yang berpenduduk mayoritas muslim. Yakni Mekkah(1977),  Islamabad (1980), Dakka (1981), Jakarta (1982), Kairo (1982), Amman (1990).[7]Dalam konferensi tersebut, dibahas berbagai persoalan mendasar tentang  problem yang dialami pendidikan Islam. Juga mencari rumusan yang tepat untuk mengatasinya.
Menurut Al-attas, Islam itu harus selalu member arah terhadap hidup kita, agar umat Islam terhindar dari serbuan pengaruh Pemikiran Barat dan Orientalis yang menyesatkan. Disamping itu, al-Attas sebagai penggagas Islamisasi Ilmu sebalum al-Faruqi, berpendapat bahwa perlunya ditimbulkan kesadaran terhadap ilmu dan pendidikan dunia Islam.[8] (Badaruddin, 2007)
Gagasan besarnya tentang Islamisasi ilmu pengetahuan telah disambut positif oleh para cendikiawan muslim dunia, bahkan Ismail Raji al-Faruqi kemudian membahasnya dalam satu buku penuh.
Konsep pendidikan Islam memang menarik untuk didiskusikan dan dibahas secara mendalam, walaupun hal itu beberapa kali telah diangkat menjadi tema kajian oleh beberapa  tokoh pemikir. Di hadapan dunia akademis, tema-tema seperti itu terkesan sudah “sangat  sering”, namun dinamika pemikiran intelektual selalu tidak pernah puas dan final akan kajian  yang serupa.
Omar Muhammad al-Toumy al-Syaebani, misalnya mengartikan pendidikan Islam  sebagai usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan  kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses kependidikan,  perubahan itu dilandasi dengan nilai-nilai Islam, sehingga dapat dipahami bahwa pendidikan  Islam itu merupakan satu proses yang tidak hanya menyangkut transfer ilmu, akan tetapi  bagaimana menjadikan manusia makhluk berakhlak dengan akhlak yang baik serta dari hasil  pendidikan itu dapat membantu kehidupan diri dan kemasyarakatannya dengan berlandasan  ajaran Islam.
Pendidikan dapat diartikan sebagai upaya menjadikan manusia sebagai khalifatullah fi   Ardh yang tetap dalam keadaan menghambakan diri kepada Allah (‘Abdullah). Islam sebagai agama yang sangat memperhatikan masalah pendidikan Menginginkan corak pendidikan yang mampu membentuk "manusia yang unggul secara intelektual, kaya dalam amal, serta anggun dalam moral dan kebijakan".
Hubungan antara keduanya bersifat organis-fiingsional; pendidikan berfungsi sebagai  alat untuk mencapai tujuan Islam, dan Islam menjadi kerangka dasar pengembangan  pendidikan Islam, serta memberikan landasan sistem nilai untuk mengembangkan berbagai  pemikiran tentang pendidikan Islam. Faktor agama tampaknya memang tak dapat dipisahkan dari hubungannya dengan perilaku manusia, baik secara individu maupun secara  kelompok. Manusia mempunyai kebutuhan keagamaan yang instrinsik yang tidak dapat  dijelaskan melalui sesuatu yang mengatasinya dan yang diturunkan dari kekuatan-kekuatan  supranatural. Meskipun pendidikan merupakan suatu tindakan (action) yang diambil oleh  suatu masyarakat, kebudayaan, atau peradaban untuk memelihara kelanjutan hidupnya  (survival).
Tanpa pendidikan dapat dipastikan bahwa manusia sekarang tidak berbeda dengan  generasi manusia masa lampau. Karena itu, secara ekstrim dapat dikatakan bahwa maju  mundur atau baik buruknya peradaban suatu masyarakat atau bangsa sangat ditentukan oleh bagaimana proses pendidikan yang dijalani oleh masyarakat bangsa tersebut. Hal itu  dikarenakan, pendidikan merupakan sebuah penanaman modal manusia untuk masa depan  dengan membekali generasi muda dengan budi pekerti yang luhur dan kecakapan yang tinggi. Pendidikan Islam menurut Al-Attas adalah pengenalan dan pengalaman yang secara  berangsur-angsur ditanamkan dalam diri manusia,  tentang  tempat-tempat yang tepat dari  segala sesuatu di  dalam  tatanan penciptaan sedemikian rupa sehingga membimbing  ke  arah pengenalan dan  pengakuan  tempat Tuhan  yang tepat di dalam tatanan wujud dan  kepribadian. Jadi, pendidikan itu hanya untuk manusia saja.[9]
Pemaparan konsep pendidikan Islam dalam pandangan al-Attas lebih cenderung menggunakan istilah (lafad) ta'dib, daripada istilah-istilah lainnya.. Sekalipun istilah tarbiyah dan ta’lim telah mengakar dan mempopuler, ia menempatkan ta'dib sebagai sebuah konsep yang dianggap lebih sesuai dengan konsep pendidikan Islam. Dalam beberapa penjelasan kata ta'dib sebagaimana yang menjadi pilihan al-Attas, merupakan kata (kalimat) yang berasal  dari kata addaba yang berarti memberi adab, atau mendidik.
Dalam pandangan al-Attas, dengan menggunakan term di atas, dapat dipahami bahwa  pendidikan Islam adalah proses internalisasi dan penanaman adab pada diri manusia. Sehingga muatan substansial yang terjadi dalam kegiatan pendidikan Islam adalah interaksi  yang menanamkan adab. Seperti yang diungkapkan al-Attas, bahwa pengajaran dan proses  mempelajari ketrampilan betapa pun ilmiahnya tidak dapat diartikan sebagai pendidikan  bilamana di dalamnya tidak ditanamkan ‘sesuatu’.
Berkaitan dengan defmisi pendidikan, Al-Attas melihat bahwa saat ini telah terjadi  perusakan bahasa-bahasa Islam di masing-masing wilayah Islam, yang sebagiannya merupakan usaha sekularisasi, lewat topeng modernisasi, yang mungkin saja terjadi tanpa  sepenuhnya disadari pelaku-pelakunya. Dalam konteks ini, apa yang perlu dilakukan adalah  re-Islamisasi bahasa-bahasa tersebut. [10] (Al-Attas M. N., 1995) Oleh karena itu term pendidikan dalam bahasa Arab,  menjadi salah satu objek kajian yang akan menjadi pembicaraan Al-Attas. Term-term  tersebut adalah tarbiyah, ta'lim, dan ta'dib. Pembahasan term-term tersebut memiliki  implikasi yang signifikan terhadap pandangan Al-Attas mengenai konsep ilmu, tujuan  pendidikan, dan manusia sebagai sebuah sistem.
Penjelasan secara filosofis mengenai term-term tersebut dijelaskan oleh Syed  Muhamad Naquib Al-Attas, sekaligus memuat pandangannya mengenai hakikat pendidikan menurut Islam, dalam pandangan Syed Muhamad Naquib Al-Attas.
Salah satu konsep pendidikan yang dilontarkan Naquib, seperti ditulis dalam The  Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas (1998), yaitu  mengenai ta'dib. Dalam pandangan Naquib, masalah mendasar dalam pendidikan Islam  selama ini adalah hilangnya nilai-nilai adab (etika) dalam arti luas. Hal ini terjadi, kata  Naquib, disebabkan kerancuan dalam memahami konsep tarbiyah, ta'lim, dan ta'dib.  Naquib cenderung lebih memakai ta'dib daripada istilah tarbiyah maupun ta'lim.  Baginya, alasan mendasar memakai istilah ta'dib adalah, karena adab berkaitan erat dengan  ilmu. Ilmu tidak bisa diajarkan dan ditularkan kepada anak didik kecuali orang tersebut  memiliki adab yang tepat terhadap ilmu pengetahuan dalam pelbagai bidang.
Sementara, bila dicermati lebih mendalam, jika konsep pendidikan Islam hanya  terbatas pada tarbiyah atau ta'lim ini, telah dirasuki oleh pandangan hidup Barat yang  melandaskan nilai-nilai dualisme, sekularisme, humanisme, dan sofisme sehingga nilai-nilai  adab semakin menjadi kabur dan semakin jauh dari nilai-nilai hikmah ilahiyah. Kekaburan  makna adab atau kehancuran adab itu, dalam pandangan Naquib, menjadi sebab utama dari  kezaliman, kebodohan, dan kegilaan.
Al-Attas more accepting ta'dib, rather than taklim and tarbiyah. Because ta'dib includes more extensive, man as a subject of education that are intended to share knowledge gained can bepracticed properly and not abused by free will of the owner of the science, because science is not value-free (value free) but the fullvalue (value laden)[11]
Dalam masa sekarang ini, lazim diketahui bahwa salah satu kemunduran umat Islam  adalah di bidang pendidikan. Dari konsep ta'dib seperti dijelaskan di atas, akan ditemukan  problem mendasar kemunduran pendidikan umat Islam. Probelm itu tidak terkait masalah  buta huruf, melainkan berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang disalahartikan,  bertumpang tindih, atau diporakporanndakan oleh pandangan hidup sekular (Barat).
Akibatnya, makna ilmu itu sendiri telah bergeser jauh dari makna hakiki dalam Islam.  Fatalnya lagi, ini semua kemudian menjadi 'dalang' dari berbagai tindakan korup (merusak) dan kekerasan juga kebodohan. Lahir kemudian pada pemimpin yang tak lagi mengindahkan  adab, pengetahuan, dan nilai-nilai positif lainnya. Untuk itulah, dalam amatan Naquib, semua  kenyataan ini harus segera disudahi dengan kembali membenahi konsep dan sistem pendidikan Islam yang dijalankan selama ini.
Pada sisi lain, Al-Attas berpendapat bahwa untuk penanaman nilai-nilai spiritual, termasuk spiritual intelligent dalam pendidikan Islam, ia menekankan pentingnya pengajaran ilmu fardhu ain. Yakni, ilmu pengetahuan yang menekankan dimensi ketuhanan, intensifikasi hubungan manusia-Tuhan dan manusia-manusia, serta nilai-nilai moralitas lainnya yang membentuk cara pandang murid terhadap kehidupan dan alam semesta. Al-Attas memandang  bahwa, adanya dikotomi ilmu fardhu ain dan fardhu kifayah tidak perlu diperdebatkan.  Tetapi, pembagian tersebut harus dipandang dalam perspektif integral atau tauhid, yakni ilmu  fardhu ain sebagai asas dan rujukan bagi ilmu fardhu kifayah. Al-attas classify their knowledge into two, namely Fardh ain and Fardh kifayah. Fardh ain is the science related to religion, whereas Fardh kifayah is a science which includes rational Sciences, intellectual and philosophical.
Al-Attas menyatakan bahwa ta'lim atau pengajaran dan proses mempelajari keterampilan, betapapun ilmiahnya apa yang diajarkan dan dipelajari itu mengandung muatan ilmu, tidak selalu harus dimaknai dengan pendidikan. Karena, menurut Al-Attas dalam pendidikan itu, harus ada sesuatu yang ditanamkan bersamaan dengan diajarkannya ilmu itu dalam wahana pendidikan yang di maksud berupa penanaman nilai.
Menurut Al-Attas tarbiyah dalam konotasinya yang sekarang merupakan istilah baru, yang selalu dikaitkan pada pemikiran yang modernis. Istilah tarbiyah dengan makna pendidikan, tidak memperhatikan sifatnya yang sebenarnya. Baginya, istilah tarbiyah mencerminkan konsep Barat tentang pendidikan yang pada hakikatnya hanya mengacu pada segala sesuatu yang bersifat fisik dan material, yang tertuju kepada spesies hewan dan tidak dibatasi kepada manusia.
Sementara ta'dib atau adab menurut Al-Attas adalah disiplin tubuh, jiwa dan run. Disiplin yang menegaskan pengenalan dan pengakuan tempat yang tepat dalam hubungannya dengan kemampuan dan potensi jasmaniah, intelektual, dan ruhaniah; pengenalan dan pengakuan akan kenyataan bahwa ilmu dan wujud ditata secara hirarkis sesuai dengan berbagai tingkat (maratib) dan derajatnya (darajat).
Istilah tarbiyah, ta'lim, dan ta'dib memiliki implikasi filosofis yaitu penafsiran-penafsiran yang khas dari segi ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang berimplikasi terhadap kajian reformulasi makna hakikat pendidikan Islam.
Di antara para pemikir dan intelektual muslim dunia yang cukup produktif saat ini tercatatlah seorang tokoh keturunan Arab dan Sunda (Indonesia) yang menjadi warga negaraMalaysia, yakni Syed Muhamad Naquib Al-Attas. Selain terkenal sebagai pengkaji sejarah, teologi, filsafat dan tasawuf yang serius, ia juga terkenal sebagai pemikir pendidikan Islam yang brillian. Syed Muhamad Naquib Al-attas adalah pemikir kontemporer Muslim pertamayang mendefinisikan arti pendidikan secara sistematis.[12]
Berkaitan dengan defmisi pendidikan, Al-Attas melihat bahwa saat ini telah terjadi perusakan bahasa-bahasa Islam di masing-masing wilayah Islam, yang sebagiannya merupakan usaha sekularisasi, lewat topeng modernisasi, yang mungkin saja terjadi tanpa sepenuhnya disadari pelaku-pelakunya. Dalam konteks ini, apa yang perlu dilakukan adalah re-Islamisasi bahasa-bahasa tersebut.[13]
Oleh karena itu term pendidikan dalam bahasa Arab, menjadi salah satu objek kajian yang akan menjadi pembicaraan Al-Attas. Term-term tersebut adalah tarbiyah, ta'lim, dan ta'dib. Pembahasan term-term tersebut memiliki implikasi yang signifikan terhadap pandangan Al-Attas mengenai konsep ilmu, tujuan pendidikan, dan manusia sebagai sebuah sistem.
Penjelasan secara filosofis mengenai term-term tersebut dijelaskan oleh Syed Muhamad Naquib Al-Attas, sekaligus memuat pandangannya mengenai hakikat pendidikan menurut Islam, dalam pandangan Syed Muhamad Naquib Al-Attas.
Al-Attas menyatakan bahwa ta'lim atau pengajaran dan proses mempelajari keterampilan, betapapun ilmiahnya apa yang diajarkan dan dipelajari itu mengandung muatan ilmu, tidak selalu harus dimaknai dengan pendidikan. Karena, menurut Al-Attas dalam pendidikan itu, harus ada sesuatu yang ditanamkan bersamaan dengan diajarkannya ilmu itu dalam wahana pendidikan yang di maksud berupa penanaman nilai.
Menurut Al-Attas tarbiyah dalam konotasinya yang sekarang merupakan istilah baru, yang selalu dikaitkan pada pemikiran yang modernis. Istilah tarbiyah dengan makna pendidikan, tidak memperhatikan sifatnya yang sebenarnya. Baginya, istilah tarbiyah mencerminkan konsep Barat tentang pendidikan yang pada hakikatnya hanya mengacu pada segala sesuatu yang bersifat fisik dan material, yang tertuju kepada spesies hewan dan tidak dibatasi kepada manusia.
Sementara ta'dib atau adab menurut Al-Attas adalah disiplin tubuh, jiwa dan run.  Disiplin yang menegaskan pengenalan dan pengakuan tempat yang tepat dalam hubungannyadengan kemampuan dan potensi jasmaniah, intelektual, dan ruhaniah; pengenalan dan pengakuan akan kenyataan bahwa ilmu dan wujud ditata secara hirarkis sesuai dengan berbagai tingkat (maratib) dan derajatnya (darajat).
Istilah tarbiyah, ta'lim, dan ta'dib memiliki implikasi filosofis yaitu penafsiran-penafsiran yang khas dari segi ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang berimplikasi terhadap kajian reformulasi makna hakikat pendidikan Islam.
Al-Attas seperti yang dikutip oleh Daud[14], mengatakan bahwa orang yang terpelajar adalah orang yang baik, dan baik yang dimaksudkannya di sini adalah (adab) dalam pengertian yang menyeluruh, yang meliputi keseluruhan spiritual dan material seseorang, yang berusaha menanamkan kualitas kebaikan yang diterimanya. Oleh karena itu, orang yang benar-benar terpelajar didefinisikan Al-Attas sebagai orang yang beradab.
Selanjutnya ia menjelaskan, istilah ta'dib merupakan mashdar dari kata kerja addaba yang berarti pendidikan. Menurut Al-Attas, Adabun berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hirarkis sesuai dengan berbagai tingkat dan derajat tingkatan mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kapasitas dan potensi jasmaniah, intelektual, maupun rohaniah seseorang.
Berdasarkan pengertian Adab seperti itu, Al-Attas mendefinisikan pendidikan (menurut Islam) sebagai pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam manusia, tentang tempat-tempat yang tepat bagi segala sesuatu di dalam tatanan wujud sehingga hal ini membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud tersebut.
Bila dilihat secara seksama, pemikiran Al-Attas berawal dari keprihatinannya terhadap penyempitan makna terhadap istilah-istilah ilmiah Islam yang disebabkan oleh upaya Westernisasi, Mitologisasi, pemasukan hal-hal yang magis (gaib) dan SekularisasL Oleh karena itu, Al-Attas memberikan solusi dengan konsepnya Islamisasi dan de-westernisasi (Al-Attas S. M., 2010).
Kesimpulan
Pada dasarnya, latar belakang pemikiran pendidikan Al-Attas terkait dengan gagasannya mengenai Islamisasi ilmu. Islamisasi ilmu adalah pembersihan dari penafsiran-penafsiran yang sekuler. Adapun langkah awal metodologi pemikiran Al-Attas, sesuai dengananalisis teori metodologi filsafat pendidikan Islam, yaitu dengan menggunakan metode linguistik, pada pemikirannya mengenai tarbiyah, ta'lim dan ta'dib.
Penelitian Al-Attas mengenai tarbiyah, ta'lim, dan ta'dib, menghasilkan pemikiran bahwa hanya Ta'diblah yang layak untuk mewakili kata pendidikan dalam bahasa Arab. Pemikirannya ini berimplikasi pada pemikiran pendidikannya yang lain yaitu mengenai tujuan pendidikan Islam, ilmu dan manusia.
Epistemologi filsafat pendidikan Islam itu dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu; pertama, berdasarkan sumber penelaahan; epistemologi yang berasal dari qur'an-hadis, pemikiran tokoh, dan penelaahan dari perilaku umat Islam yang disesuaikan dengan ruang dan waktu. Kedua, berdasarkan sifatnya, secara sistemik epistemologi filsafat pendidikan Islam melalui tahapan-tahapan tertentu diantaranya perenungan (contemplation) tentang sunnatullah sebagaimana dianjurkan dalam al-Qur'anul karim, penginderaan (sensation), penyerapan (perception), penyajian (representation), konsep (concept), timbangan (judgment), dan penalaran (reasoning). Ketiga, pada aspek metodologi epistemologi filsafat pendidikan Islam dapat melalui beberapa cara yaitu metode spekulatif, normatif, konsep, linguistik, dan metode historis.
Pada dasarnya Al-Attas mempunyai epistemologi filsafat pendidikan Islam tersendiri yang sangat kontras berbeda dengan epistemologi Barat. Epistemologi Islam Al-Attas memiliki corak tersendiri dalam memahami Islam dari segi pendidikan. Menurut Al-Attas, epistemologi Islam adalah; pertama, Pandangan Islam mengenai realitas dan kebenaran dimaknai atas dasar metafisika dunia (yang tampak), dalam hal ini melalui kajian epistemologi pengetahuan sains empirik dan kajian metafisika (tak tampak). Kedua, epistemologi filsafat Pendidikan Islam berdasarkan metodologi berfikir Integralistik (tauhidi) yang menggabungkan antara metode obyektif-subyektif, historis-normatif, tekstual-kontekstual. Ketiga, Epistemologi filsafat pendidikan Islam selalu bersumber kepada wahyu (agama), yang didukung oleh akal dan intuisi. Keempat, filsafat Islam yang mengkaji ontologi metafisika selalu berimplikasi terhadap kemajuan manusia. Kelima, konsep metafisika Tuhan dalam Islam itu berbeda dengan konsep Tuhan dalam agama lain.

 

Bibliography

Al-Attas, M. N. (1995). Islam dan filsafat Sains. Bandung: Mizan.
Al-Attas, S. M. (2010). Dewesternisasi Ilmu . Dewesternisasi Ilmu Jurnal Terjemahan Alam & Tamadun Melayu 1:2 3 - 20 , 3.
Badaruddin, K. (2007). Filsafat Pendidikan Islam (Analisis Pemmikiran Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib Al-Attas). Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia: Pustaka Pelajar.
Daud, W. M. (2003). Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam Al-Attas. Bandung: Mizan.




[1] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam Al-Attas, Mizan, Bandung, 2003, hlm.48
[2] Ibid.
[3] Syed Muhamad Naquib Al-Attas banyak menghabiskan masa mudanya dengan membaca dan mendalami
manuskrip-manuskrip sejarah, sastra, dan agama, serta buku-buku klasik Barat dalam Bahasa Inggris yang
tersedia di perpustakaan keluarganya yang lain, lingkungan keluarga berpendidikan dan bahan-bahan bacaan
seperti inilah yang menjadi faktor pendukung dan pemilihan kosa kata yang tepat, yang kelak akan
mempengaruhi gaya tulisan dan tutur bahasa Melayunya. Ibid
[4] Ibid., hlm. 48
[5] Pada Congress International des Orientalist yang ke -29 di Paris pada tahun 1973 Al-Attas dipercaya
memimpin diskusi panel mengenai Islam di Asia Tenggara. Dua tahun kemudian (1975) atas kontribusinya
dalam perbandingan filsafat, dia dilantik sebagai anggota Imperial Irian Academy of Philosophy, sebuah
lembaga yang anggotanya antara lain terdiri dari beberapa orang profesor yang terkenal, seperti Henry Corbin,
Syed Hossen Nashr, dan Toshihiko Izutsu.
[6] Ibid., Daud, hlm. 50-54
[7]Ibid, Daud. hlm. 339
[8] Badaruddin, K. (2007). Filsafat Pendidikan Islam (Analisis Pemmikiran Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib Al-Attas). Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia: Pustaka Pelajar.

[9] Ibid, page 36
[10] Al-Attas, Islam dan filsafat Sains, Mizan, Bandung, 1995, hlm. 14.
[11] Ibid, Kemas page 34
[12] Ibid, Daud page 76
[13] Ibid., Al-Attas, 1995, hlm. 14
[14] Ibid, Daud page 77

Senin, 19 Desember 2011

The Role of Religion and Spirituality in Development of Character


The Role of Religion and Spirituality in Development of Character
By Muh Hamim
NIM 10110254

Hakikat Pendidikan
1.      Pendidikan pada hakikatnya adalah suatu system yang memproses peserta didik menjadi manusia yang memiliki potensi, kompetensi, dan kualitas fisik, intelektualitas , spiritual, serta sikap dan perilaku yang lebih baik
2.      Kualitas produk pendidian selalu dipengaruhi oleh factor instrumental dan factor sosio cultural
Tugas dan Peran Pendidikan
Dalam paradigm Islam, pendidikan mempunyai fungsi dan tugas. Yaitu :
a.       Transfer of belief
b.      Transfer of knowledge
c.       Transfer of value
d.      Transfer of skill
Pendidikan karakter merupakan bagian integral dalam pandangan pendidikan Islam, (terdiri dari keimanan, spiritual, moral dan etika)
Setiap agama setidak-tidaknya mempunyai pilar-pilar doktrin yang mempengaruhi pandangan, sikap dan perilaku pemeluknya yaitu :
a.       Berupa credo (aqidah/keyakinan)
b.      Berupa ritus (ibadah)
c.       Berupa moral
Agama Islam mempunyai pilar lain yang besar pengaruhnya terhadap sikap dan perilaku pemeluknya yakni berupa Islamic law (Syari’ah) dan berupa spiritualitas (tasawuf)
Arus globalisasi telah membentuk masyarakat global dengan cirri-ciri
a.       Masyarakat yang terbuka tanpa batas (borderless society)
b.      Masyarakat ilmiah (scientific society) yang kritis dan rasionalis
c.       Masyarakat yang materialis dan hedonis (materialistic and hedonistic society)
d.      Masyarakat yang serba bersaing (mega competitive society)
e.       Masyarakat yang dekaden dan liberalis (decadent and liberalistic society)
Pembentukan dan pelestarian karakter bangsa dapat dijalankan melalui beberapa cara. Yaitu :
1.      Melalui factor genetika (fitrah)
2.      Melalui internalisasi nilai-nilai agama
3.      Melalui pendidikan dan pembiasaan
4.      Melalui lingkungan sosio-kultural (keluarga, masyarakat dan budaya)
5.      Melalui pengaruh keteladanan pemimpin, elit masyarakat dan pejabat
6.      Melalui rekayasa politik
Ada beberapa basis pendidikan karakter yaitu :
a.       Pendidikan karakter berbasis nilai-nilai religious (konservasi nilai-nilai suci)
b.      Pendidikan karakter berbasis nilai-nilai budaya (konservasi cultural)
c.       Pendidikan karakter berbasis lingkungan (konsevari good environment)
d.      Pendidikan karakter berbasis potensi diri (konservasi humanis)
Sampai sekarang pendidikan Islam di dunia masih mengalami ketertinggalan dalam banyak hal, antara lain :
1.      Kuantitatif dan kualitas SDM kependidikan yang masih terbatas
2.      Metodologi dan teknologi pendidikan belum canggih
3.      Lemahnya jaringan institusi dan informasi kependidikan
4.      Kualitas manajemen pendidikan yang belum memuaskan
5.      Lemahnya program dan pendanaan research serta penulisan ilmiah
Di satu sisi lain, pendidikan juga mengalami perubahan dan beberapa tantangan yaitu :
1.      Ilmu pengetahuan dan teknologi mengambil posisi sentral mempengaruhi bukan saja gaya hidup sehari-hari manusia, tetapi juga mempengaruhi nilai-nilai agama, moral dan seni
2.      Nilai agama dan moral akan berlangsung tertantang dan tidak mustahil akan menimbulkan system nilai baru yang berbeda dari apa yang dikenal selama ini
3.      Pengaruh teknologi yang semakin menguasai pola hidup manusia sehari-hari, tidak lagi menjadi masalah di lingkungan masyarakat teknologi, tetapi meluas menjadi masalah etis dan estetis, yang memerlukan re-interpretasi dan rekontekstualisasi



2. Opinion
Memang sangat benar yang dikatakan dan yang dipikirkan beliau. Sama seperti Naquib Al-attas. Pemikir pendidikan dengan dewesternisasinya dan ta’dibnya.
Ada beberapa asset yang memang harus diperhatikan, yaitu asset intelektual, asset social, asset financial, asset manajerial, dan asset jaringan. Kesemua asset itu mempunyai peranan penting dalam pendidikan (khususnya di Indonesia).
Beberapa permasalahan yang tidak begitu kelihatan juga menjadi salah satu masalah pendidikan di dunia ini. Banyak tantangan telah muncul di tengah-tengah kebingungan manusia di sepanjang sejarah, tetapi barangkali tidak ada yang lebih serius dan lebih merusak ke atas manusia dari tantangan yang dibawa peradaban Barat hari ini. Saya berani mengatakan tantangan terbesar yang muncul secara diam-diam pada zaman kita adalah tantangan ilmu, sesungguhnya bukan sebagai lawan kebodohan, tetapi ilmu yang dipahami dan disebarkan ke seluruh dunia oleh peradaban Barat; hakikat ilmu telah menjadi bermasalah karena ia telah kehilangan tujuan hakikinya akibat dari pemahaman yang tidak adil. Ilmu yang seharusnya menciptakan keadilan dan perdamaian, justru membawa kekacauan dalam kehidupan manusia; ilmu yang terkesan nyata, namun justru menghasilkan kebingungan dan skeptisisme, yang mengangkat keraguan dan dugaan ke derajat 'ilmiah' dalam hal metodologi dan menganggap keraguan sebagai sarana epistemologi yang paling tepat untuk mencapai kebenaran; ilmu yang untuk pertama kalinya dalam sejarah itu telah membawa kekacauan ke tiga pemerintah alam: hewan, tanaman dan bahan galian. Butuh untuk saya tekankan di sini bahwa ilmu itu tidak netral, dan tentu saja dapat dimasuki dengan suatu sifat dan konten yang menyamar sebagai ilmu. Tetapi hakikatnya, jika diamati secara keseluruhan, ia bukanlah ilmu yang benar, melainkan hanya berupa tafsiran-tafsiran melalui prisma pandangan alam, sebuah pandangan intelektual dan persepsi psikologi dari peradaban yang memainkan peran kunci dalam perumusan dan penyebarannya pada saat ini. Apa yang dirumuskan dan disebarkan adalah ilmu yang dimasuki karakter dan kepribadian peradaban itu.

Rabu, 14 Desember 2011

Dewesternisasi Ilmu Jurnal Terjemahan Alam & Tamadun Melayu (Indonesian)



3 Dewesternisasi Ilmu Jurnal Terjemahan Alam & Tamadun Melayu 1:2 (2010) 3 - 20
Dewesternisasi Ilmu
Syed Muhammad Naquib Al-ATTAS


PENDAHULUAN


Banyak tantangan telah muncul di tengah-tengah kebingungan manusia di sepanjang sejarah, tetapi barangkali tidak ada yang lebih serius dan lebih merusak ke atas manusia dari tantangan yang dibawa peradaban Barat hari ini. Saya berani mengatakan tantangan terbesar yang muncul secara diam-diam pada zaman kita adalah tantangan ilmu, sesungguhnya bukan sebagai lawan kebodohan, tetapi ilmu yang dipahami dan disebarkan ke seluruh dunia oleh peradaban Barat; hakikat ilmu telah menjadi bermasalah karena ia telah kehilangan tujuan hakikinya akibat dari pemahaman yang tidak adil. Ilmu yang seharusnya menciptakan keadilan dan perdamaian, justru membawa kekacauan dalam kehidupan manusia; ilmu yang terkesan nyata, namun justru menghasilkan kebingungan dan skeptisisme, yang mengangkat keraguan dan dugaan ke derajat 'ilmiah' dalam hal metodologi dan menganggap keraguan sebagai sarana epistemologi yang paling tepat untuk mencapai kebenaran; ilmu yang untuk pertama kalinya dalam sejarah itu telah membawa kekacauan ke tiga pemerintah alam: hewan, tanaman dan bahan galian. Butuh untuk saya tekankan di sini bahwa ilmu itu tidak netral, dan tentu saja dapat dimasuki dengan suatu sifat dan konten yang menyamar sebagai ilmu. Tetapi hakikatnya, jika diamati secara keseluruhan, ia bukanlah ilmu yang benar, melainkan hanya berupa tafsiran-tafsiran melalui prisma pandangan alam, sebuah pandangan intelektual dan persepsi psikologi dari peradaban yang memainkan peran kunci dalam perumusan dan penyebarannya pada saat ini. Apa yang dirumuskan dan disebarkan adalah ilmu yang dimasuki karakter dan kepribadian peradaban itu.
Ilmu yang disajikan dan disampaikan dengan topeng seperti itu dilebur secara halus bersama-sama dengan ilmu yang benar sehingga orang lain tanpa sadar menganggap secara keseluruhan merupakan ilmu yang sebenarnya. Gaya, kepribadian, esensi dan ruh peradaban Barat seperti apakah yang telah mengubah dirinya sendiri dan dunia ini dan membawa semua yang menerima interpretasi ilmu itu ke dalam sebuah kekacauan yang menuju ke kehancuran? 'Peradaban Barat' yang saya maksudkan itu adalah peradaban yang berkembang dari percampuran sejarah berbagai kebudayaan, filsafat, nilai dan aspirasi Yunani dan Romawi kuno; penyatuannya dengan ajaran Yahudi dan Kristen dan perkembangan dan pembentukan lebih jauh yang dilakukan orang Latin, Germanik, Celtik dan Nordik . Dari Yunani kuno diserap unsur filsafat, epistemologi, dasar pendidikan dan etika serta estetika; dari Romawi unsur-unsur hukum dan ketatanegaraan serta pemerintahan; dari ajaran Yahudi dan Kristen unsur keyakinan beragama; dan dari orang Latin, Germanik, Celtik dan Nordik kemerdekaan, semangat nasional dan nilai tradisi mereka, serta pengembangan ilmu sains tabi'i, fisik dan teknologi. Dengan kekuatan ini, bersama bangsa Slavia, mereka telah mendorong peradaban ini ke puncak kekuasaan. Islam juga telah memberi banyak kontribusi yang penting kepada peradaban Barat dalam bidang ilmu dan dalam menanamkan semangat rasional dan ilmiah. Tetapi ilmu dan semangat rasional dan ilmiah itu telah disusun kembali dan ditata ulang untuk disesuaikan dengan acuan kebudayaan Barat sehingga melebur dan menyatu dengan unsur lain yang membentuk karakter dan kepribadian peradaban Barat. Namun, peleburan dan penyatuan itu kemudian berkembang memproduksi suatu dualisme yang khusus dalam pandangan alam dan tata nilai budaya dan peradaban Barat. Suatu dualisme yang tidak dapat diselesaikan menjadi kesatuan yang harmonis, karena terbentuk dari berbagai ide, nilai, budaya, kepercayaan, filsafat, dogma, doktrin dan teologi yang saling bertentangan. Kesemuanya ini mencerminkan suatu pandangan dualistik terhadap realitas dan kebenaran yang diikuti dengan pertempuran yang menghancurkan harapan. Dualisme itu menguasai semua aspek kehidupan dan filsafat Barat; baik yang spekulatif, sosial, politik, atau budaya - sebagaimana ia telah menyusup dengan begitu hebat ke dalam agama Barat.
Barat merumuskan pandangannya terhadap kebenaran dan realitas bukan berdasarkan ilmu wahyu dan dasar keyakinan agama, tetapi berdasarkan tradisi kebudayaan yang diperkuat oleh dasar filsafat. Dasar filsafat ini berangkat dari dugaan yang terkait hanya dengan kehidupan sekuler yang berbasis pada manusia sebagai entitas fisik dan hewan rasional. Menempatkan ruang yang besar untuk kekuatan rasional manusia sebagai satu-satunya kekuatan yang akan menyingkap sendiri seluruh rahasia alam dan hubungannya dengan eksistensi, serta menyingkap hasil pemikiran spekulatif itu untuk perkembangan nilai etika dan moral yang berevolusi untuk membimbing dan mengatur kehidupannya. Tidak akan ada kepastian dalam spekulasi filsafat seperti kepastian keagamaan yang berdasarkan ilmu yang diwahyukan seperti yang dipahami dan dialami dalamIslam. Inilah sebabnya ilmu dan nilai yang memancarkan pandangan alam dan mengarahkan kehidupan peradaban tersebut akan selalu ditinjau ulang dan berubah.
Semangat penelitian dalam kebudayaan dan peradaban Barat itu berasal dari penghapusan keterpesonaan manusia terhadap agama seperti yang dipahami dalam peradaban tersebut. Agama dalam pengertian kita, sebagai din, tidak pernah berakar dalam peradaban Barat karena kecintaannya yang berlebihan dan menyimpang pada dunia dan kehidupan sekuler dan manusia dan kesibukan memikirkan nasib sekularnya di dunia. Semangat penelitian ini pada dasarnya didorongkan kondisi ragu dan tekanan batin. Tekanan batin ini adalah akibat dari konflik antara unsur dan nilai yang saling bertentangan dalam cara pandang dualisme yang dipertahankan, sementara keraguan tersebut melanjutkan kondisi tekanan batin. Tekanan batin itu pada gilirannya membangkitkan keinginan yang tidak pernah terpuaskan untuk melakukan pencarian tanpa akhir.
Pencarian tersebut tidak pernah terpuaskan dan perjalanan itu tidak pernah berakhir karena keraguan yang selalu menguasai diri, sehingga apa yang dicari itu tidak akan ditemukan, sedangkan jawaban yang diperoleh itu tidak pernah mencapai tujuan yang sebenarnya. Ibarat seorang pengembara yang kehausan yang pada mulanya tulus dalam mencari air ilmu pengetahuan.Namun, setelah menemukannya, mungkin karena merasa air tersebut tawar, lalu ia menambahkan ke dalam cangkirnya garam keraguan sehingga rasa hausnya kini tidak dapat hilang meskipun ia minum air itu terus menerus. Dengan minum, ia tidak dapat memuaskan dahaganya, karena ia telah melupakan tujuan awal dan tujuan yang benar dari pencarian air itu. Kebenaran agama yang asasi dipandang, dalam cara berpikir seperti itu, sebagai teori belaka, atau ditolak terus hanya sebagai bayangan yang tidak berguna. Nilai yang mutlak ditolak, sedangkan nilai relatif dipegang teguh. Tidak ada yang pasti, kecuali kepastian bahwa tidak ada yang pasti. Akibat logis dari sikap tadi terhadap ilmu yang mempengaruhi dan dipengaruhi pandangan alam itu adalah pengingkaran terhadap Allah dan Hari Akhirat dan sebaliknya menegaskan manusia dan dunianya. Manusia dituhankan dan Tuhan dimanusiakan. Dunia menjadi satu-satunya kesibukan manusia, bahkan ketidakfanaannya menjadi sekedar keberlangsungan spesiesnya dan kebudayaannya di dunia ini.Apa yang disebut 'perubahan', 'pembangunan' dan 'kemajuan' dalam semua aspeknya, dalam peradaban Barat, adalah hasil dari pencarian tiada henti dan perjalanan tanpa akhir yang didorong keraguan dan ketegangan batin. Konsep tentang perubahan, pembangunan dan kemajuan selalu dipahami dalam konteks keduniawian dan selalu menyajikan pandangan alam yang materialistik yang dapat disebut sebagai bentuk eksistensialisme humanistik. Semangat kebudayaan Barat yang menggambarkan dirinya sebagai Promethean adalah ibarat Sisyphusnya Camus yang dengan sungguh-sungguh berharapkan bahwa semuanya baik-baik saja. Saya katakan dengan sungguh-sungguh berharap bahwa semuanya baik-baik saja karena saya merasa bahwa hakikatnya tidak semuanya baik, karena saya percaya ia tidak akan pernah benar-benar bahagia dalam kondisi itu.Pencarian ilmu yang dimaksud di atas ibarat perjuangan mendorong batu besar dari dasar ke puncak gunung di mana setelah tiba di puncak batu itu hanya untuk digelindingkan kembali ke bawah. Pencarian ini tidak ubahnya suatu permainan serius yang tidak pernah berhenti, seolah-olah untuk mengalihkan jiwa dari tragedi kegagalan. Oleh karena itu mengherankan bahwa di dalam kebudayaan Barat tragedi disanjung sebagai salah satu nilai yang paling mulia dalam drama keberadaan manusia.
Menyandarkan diri hanya pada kekuatan akal rasional manusia untuk membimbing manusia dalam kehidupan; kepercayaan terhadap keabsahan pandangan dualistik tentang realitas dan kebenaran; penegasan akan sisi fana6 Jurnal Terjemahan Alam & Tamadun Melayu kehidupan sebagai realitas yang memancarkan pandangan alam yang sekuler; penerimaan ajaran humanisme; penerimaan drama dan tragedi, yang dianggap sebagai realitas universal, di dalam kehidupan spiritual, atau transendental, atau kehidupan batin manusia, sehingga drama dan tragedi menjadi unsur nyata bahkan dominan dalam hakikat dan eksistensi manusia - semua unsur ini secara keseluruhan, menurut pendapat saya adalah dasar ruh, karakter dan kepribadian kebudayaan dan peradaban Barat. Inilah unsur yang membentuk konsep ilmu dan arah tujuannya dalam kebudayaan dan peradaban Barat, termasuk juga perumusan isi dan metode penyebarannya. Dengan demikian ilmu yang secara sistematis disebarkan ke seluruh dunia saat ini bukanlah ilmu yang sejati. Tetapi ilmu itu sudah dimasuki karakter dan kepribadian, kebudayaan dan peradaban Barat, dipenuhi dengan semangatnya dan disesuaikan dengan tujuannya. Unsur inilah yang kemudian harus dikenal, dipisahkan dan diasingkan dari tubuh ilmu pengetahuan, sehingga ilmu itu dapat dibersihkan dari unsur tersebut. Karena unsur Barat ini, termasuk juga hal yang terkandung di dalamnya, bukanlah ilmu pengetahuan itu sendiri, tetapi ia hanyalah menentukan bentuk khusus untuk memahami, menilai, dan menafsirkan ilmu tersebut agar sesuai dan sejalan dengan pandangan alam peradaban Barat. Selanjutnya, selain kita harus mengidentifikasi, memisahkan dan mengasingkan unsur tadi dari tubuh ilmu yang semestinya akan mengubah bentuk konseptual, nilai dan interpretasi beberapa konten ilmu pengetahuan seperti yang disajikan sekarang, kita harus mengubah tujuan dan sistem pengaturan dan penyebaran ilmu pengetahuan dalam lembaga-lembaga pendidikan, demikian juga dalam lapangan pendidikan. Mungkin ada yang berpendapat apa yang disarankan ini tidak lebih dari suatu tafsiran lain, di mana ilmu pengetahuan tadi dimasuki bentuk konseptual dan nilai lainnya yang disesuaikan dengan maksud yang mencerminkan pandangan alam lain tersebut; dengan demikian, dari sudut pandang yang sama, bagaimana pun juga ia dirumuskan dan disebarkan tetap tidak semestinya akan menayangkan ilmu pengetahuan yang sejati itu. Namun, hal ini harus diteliti lebih lanjut, karena pengujian benar tidaknya ilmu itu terletak pada diri manusia sendiri. Jika melalui penafsiran alternatif itu manusia dapat mengetahui hakikat dirinya serta tujuan sejati hidupnya, dan dengan mengetahui itu ia mencapai kebahagiaan, maka ilmu itu adalah ilmu sejati, meskipun ilmu itu dipengaruhi unsur tertentu yang menentukan bentuk khususnya, serta dipahami, dinilai dan ditafsirkan sesuai dan sejalan dengan suatu pandangan alam tertentu. Ini adalah karena ilmu pengetahuan seperti inilah yang telah memenuhi tujuan manusia menemukan ilmu.


HAKIKAT MANUSIA

Manusia memiliki hakikat ganda atau dwi hakikat, yaitu jiwa dan raga; kedua- duanya adalah sebuah wujud fisik dan sekaligus ruh (15: 29; 23: 12-14). Allah mengajarkannya nama-nama (al-asma ') segala sesuatu (QS. 2: 31). Dengan 'Nama-nama itu' kita menyimpulkan bahwa yang dimaksud adalah ilmu (al-'Ilm) tentang segala sesuatu (al-ashya '). Ilmu ini tidak merujuk pada ilmutentang esensi atau dasarnya yang paling dalam (sirr) dari sesuatu (shay '), misalnya ruh, di mana ilmu ini hanya sedikit yang diberikan Allah kepada manusia (17: 85). Ilmu yang dimaksud di sini adalah tentang 'Arad dan sifat tentang segala sesuatu yang dapat ditangkap pancaindera (mahsusat) dan dipahami akal (ma'qulat) sehingga dapat diketahui hubungan dan perbedaan antara satu sama lainnya. Selain itu, juga untuk menjelaskan hakikatnya dalam konteks ini sehingga dapat dikenal dan dipahami penyebab, penggunaan dan manfaatnya masing-masing. Manusia juga diberi ilmu tentang Allah (ma'rifah), pada Keesaan-Nya Yang Mutlak; bahwa Allah adalah Tuhan yang sebenarnya Tuhan (rabb), dan obyek sesembahan yang sejati (Ilah) (7: 172; 3: 18).
Tempat ilmu ini, baik al-'Ilm atau ma'rifah, ada pada jiwa manusia (al- nafs), hatinya (al-qalb) dan akalnya (al-'aql). Oleh karena manusia mengetahui ('Arafa) Allah dengan mentauhidkannya sebagai Tuhan sejati, maka ilmu tersebut dan realitas kondisi yang terkait dengannya itu memiliki efek mengikat manusia dalam suatu Perjanjian (mithaq, 'ahd) yang menentukan tujuan hidup, peri laku dan perbuatannya dalam hubungan antara dirinya dengan Allah (QS. 7: 172). 'Keterikatan' dan 'penentuan' manusia dengan Tuhannya dalam suatu Perjanjian ini dalam hal tujuan hidup, peri laku dan perbuatannya ini pada dasarnya adalah keterikatan dan penentuan dalam bentuk agama (din) dan kepatuhan (aslama) yang sejati. Maka, din dan aslama keduanya terkait erat dalam hakikat manusia (fitrah). Tujuan sejati manusia adalah untukmenjalankan 'ibadah kepada Allah (QS. 51: 56), dan kewajibannya adalah taat kepada Allah sesuai dengan hakikat dasar (fitrah) yang telah diciptakan Allah baginya (QS. 30: 30). Tetapi, di samping itu manusia juga "bersifat pelupa, (Nisyan) ". Manusia disebut insan adalah karena setelah bersaksi akan kebenaran Perjanjian yang menyatakan perpanjangan larangan Allah, ia lupa (nasiya) memenuhi kewajiban dan tujuan hidupnya itu (diriwayatkan dari ibn 'Abbas)
Sesungguhnya manusia disebut insan karena setelah berjanji dengan-Nya, ia lupa (nasiya),dengan mengacu kepada QS. 20: 115). Sifat pelupa ini adalah penyebab keingkaran manusia dan sifat tercela ini mengarahkannya pada ketidakadilan (Zulm) dan kebodohan (jahl) (33: 72). Namun demikian, Allah telah melengkapinya dengan daya pandangan dan pemahaman yang benar dan kecenderungan menikmati kebenaran sejati dan percakapan dan komunikasi yang benar. Dan Allah telah menunjukkan pula kepadanya apa yang benar dan yang salah sehingga ia dapat memilih perbuatan mana yang harus diambilnya agar ia dapat berjuang mencapai takdirnya yang cerah (QS. 90: 8-10). Pilihan itu diserahkan kepadanya.
Selain itu Allah telah melengkapinya dengan kecerdasan untuk membedakan yang benar dari yang salah, atau kebenaran dari kepalsuan. Meskipun kecerdasan itu mungkin membingungkannya, tetapi asalkan ia jujur ​​dan setia terhadap hakikat dirinya yang benar, maka Allah dengan segala karunia, belas kasih dan rahmat-Nya - jika Ia menghendaki - akan memberikan petunjuk-Nya (huda) untuk membantunya memperoleh kebenaran dan peri laku yang benar (contoh yang paling baik dalam hal ini adalah Nabi Ibrahim, 'alayhi'l-salam, pada QS. 6: 74-82). Manusia setelah dipersiapkan demikian, dibuat untuk menjadi wakil (khalifah) Allah di muka bumi (QS. 2:30). Dengan demikian, beban berat kepercayaan (amanah) itu telah ditempatkan ke atas pundaknya, yaitu amanah dan tanggung jawab untuk memerintah sesuai dengan kehendak, maksud dan ridha-Nya (33: 72). Amanah berarti tanggung jawab untuk berbuat adil terhadapnya. Yang dimaksud dengan memerintah di sini tidak hanya dalam pengertian sosio-politik, atau dalampengertian menangani alam secara ilmiah, tetapi yang lebih mendasar adalah mencakup konsep alam tabi'i (tabi'ah), ia menunjuk kepada memerintah, mengatur, mengendalikan dan memelihara manusia oleh diri manusia itu sendiri. Manusia juga memiliki dua jiwa (nafsan) serupa dengan dwi hakikatnya pada: jiwa yang tinggi disebut jiwa akali (al-nafs al-natiqah), dan jiwa yang rendah disebut jiwa hewani (al-nafs al-hayawaniyyah). Ketika Allah mengumumkan realitas ketuhanan-Nya kepada manusia, jiwa akali itulah yang dituju-Nya, maka jiwa akalilah yang mengetahui Allah. Agar manusia memenuhi perjanjiannya dengan Allah, senantiasa menegaskan dan mengkonfirmasi Perjanjian itu sepenuh jiwanya sehingga terjelma dalam amal perbuatannya ('amal, yaitu dengan merujuk pada' ibadah) yang dilakukan dalam ketaatannya terhadap Hukum Allah (yaitu shari'ah), maka jiwa akali itu harus mempertahankan kekuasaannya dan menggunakan kekuasaan dan pengaruhnya terhadap jiwa hewani, sehingga jiwa hewani itu tunduk dan patuh kepadanya seperti yang mestinya. Kekuasaan dan pengendalian efektif yang dilakukan oleh jiwa akali pada jiwa hewani itulah yang sebenarnya dinamakan din; sedangkan kepatuhan secara sadar dan menyeluruh serta penuh kerelaan jiwa hewani terhadap jiwa akali itu tidak lain adalah aslama dan Islam. Keduadin dan Islam itu yang membawa kepada sebaik-baik perilaku keagamaan (Ihsan), harus terkait dengan kebebasan yang dimiliki jiwa akali, kebebasan yang berarti kekuasaan (quwwah) dan kemampuan (wus ') untuk berbuat adil kepada dirinya. Dan ini berarti menggunakan kekuasaannya, bimbingannya serta pemeliharaannya ke atas jiwa hewani dan raga tersebut. Kekuasaan dankemampuan untuk berbuat adil kepada dirinya menyinggung pengukuhan dan pemenuhan jiwa akali terhadap perjanjiannya dengan Allah secara terus- menerus. Keadilan dalam Islam bukan merujuk pada suatu kondisi yang hanya terjadi pada hubungan antara dua orang atau antara dua pihak, seperti antara seorang dengan seorang lain, atau antara masyarakat dan negara, atau antara raja dan rakyatnya. Manusia Islam, seorang Muslim sejati, khalifatu'Llah, tidak terikat oleh kontrak sosial, atau menganut doktrin kontrak sosial. Memang ia hidup dan bekerja dalam lingkungan tata negara dan otoritas sosial dan memberi kontribusinya pada kebaikan sosial dan meskipun ia berperilaku seakan-akan ia terikat dengan suatu kontrak sosial, namun kontraknya adalah suatu kontrak pribadi yang mencerminkan Perjanjian yang telah terpatri dalam jiwanya antara dirinya dengan Allah, karena sebenarya Perjanjian itu dibuat untuk setiap jiwa. Maksud dan tujuan etika dalam Islam pada akhirnya adalah untuk setiap individu. Apa yang dilakukan seorang manusia Islam di dunia ini, ia dilakukan sesuai dengan apa yang ia yakini bahwa sesuatu itu dikatakan sebagai kebaikan hanya jika Allah dan Rasul-Nya mengatakan demikian, dan ia percaya bahwa perbuatannya itu akan mendapat keredhaan Allah.
Kita telah menggambarkan secara singkat hal yang penting tentang hakikat manusia yang dapat kita sebut sebagai 'dua sekutu': memiliki dwi hakikat yaitu jiwa dan raga, jiwa akali dan raga hewani; dan bahwa ia adalah ruh dan sekaligus, ada fisik dan ia memiliki kepribadian yang disebut dengan diri; bahwa ia memiliki sifat yang mencerminkan sifat Penciptanya. Secara khusus telah kita katakan bahwa manusia memiliki ilmu tentang nama berbagai benda, dan juga ilmu tentang Tuhan; bahwa ia memiliki organ kognitif spiritual dan rasional, yaitu berupa kalbu dan akal; bahwa ia memiliki daya untuk mendapatkan pandangan dan pengalaman baik secara fisik, intelektual atau kebatinaan; bahwa ia memiliki potensi untuk menyimpan pedoman dan kebijaksanaan dalam dirinya sendiri, dan bahwa ia memiliki kekuatan dan kemampuan untuk berbuat adil kepada dirinya. Dan kita juga mengatakan bahwa pada dasarnya manusia bersifat pelupa sehingga ia dapat saja terperangkap dalam keingkaran, kezaliman dan kebodohan. Semua sifat positif dan negatif di dalam dirinya itu saling berlomba untuk berkuasa, tetapi dalam dirinya juga terpatri sarana keamanan dalam agama yang benar dan kepasrahan sejati. Untuk menyimpulkan semua penjelasan di pada, dapat kita katakan sekarang bahwa manusia secara keseluruhan adalah tempat (mahall atau makan) untuk kemunculan din dan oleh karena itu ia seperti sebuah kota (madinah), sebuah negara, sebuah warga kota. Sejatinya seorang manusia tidak ubahnya dengan seorang penghuni kota dalam dirinya, penduduk dari pemerintah miniaturnya sendiri. Konsep manusia sebagai perlambangan mikrokosmik ('alam Saghir) dari makrokosmos (al-'alam al-kabir) itu adalah yang paling penting dalam hubungannya dengan ilmu. Konsep ini adalah sifatnya yang paling penting bertanggung jawab atas penegakan keadilan dalam diri, ada dan eksistensi manusia. Demikian juga dengan halnya dalam hubungannya dengan organisasi pengajaran, penanaman dan penyebaran ilmu dalam pendidikan manusia, khususnya mengacu kepada universitas seperti yang akan dijelaskan selanjutnya.


HAKIKAT ILMU

Ada banyak penjelasan tentang hakikat ilmu di dalam Islam itu melebihi apa yang ada dalam agama, kebudayaan dan peradaban lainnya. Tidak diragukan lagi hal ini disebabkan posisi yang sangat tinggi dan peran yang besar yang Allah beri kepada al-'Ilm di dalam Kitab Suci al-Qur'an. Penjelasan tersebut, meskipun isinya berbeda, tetapi mencakup hakikat ilmu secarakeseluruhan. Ada perbedaan antara ilmu Allah dan ilmu manusia tentang Tuhan, agama dan dunia, dan hal yang dapat ditangkap pancaindera dan dicerna akal; demikian juga ilmu tentang hal spiritual dan kebijaksanaan. Misalnya, ilmu itu dapat berarti Kitab Suci al-Qur'an; Hukum yang diwahyukan (Shari'ah); Sunnah; Islam; Keimanan (iman); Ilmu Spiritual ('ilm al-ladunniyy),Kebijaksanaan (hikmah) dan ma'rifah, juga secara umum disebut sebagai Cahaya; Pemikiran; Sains (suatu 'ilm khusus, bentuk jamaknya' ulum); Pendidikan. Penjelasan tersebut terbentang sejak zaman awal Islam sampai ke abad ke-7 setelah Hijrah, karena itu termasuk juga berbagai karya tafsir Kitab Suci al-Qur'an; penjelasan Hadits oleh para penyusunnya dari berbagai kitab Sihah; karya-karya para imam tentang hukum dan fiqih, dan juga sebagian karya hukum yang paling terkemuka yang secara khusus menjelaskan konsep ilmu dan kearifan; buku tentang ilmu yang ditulis berbagai sarjana, cendekiawan, orang bijak, wali baik dari kaum Sunni maupun Shi'ah; penjelasan dari orang Mu'tazilah, Ahli Kalam, para filosof, sufi dan 'ulama' pada umumnya; kamus peristilahan teknis dalam bidang tasawwuf dan filsafat dan ilmu sains (Al-funun) dari berbagai anggota tata bahasa, ahli filologi, para cendekiawan dan sastrawan; berbagai antologi dan karya-karya lainnya yang berhubungan dengan pendidikan dan persuratan.
Secara umum dapat dipahami bahwa ilmu tidak membutuhkan pendefinisian (Hadd).Makna yang terkandung dalam istilah 'ilm secara alami dapat langsung dimengerti sebagai manusia berdasarkan pengetahuannya tentang ilmu, karena ilmu adalah salah satu sifat yang paling penting baginya. Apa maksud ilmu telah jelas baginya sehingga tidak diperlukan penjelasan untuk menerangkan sifat khususnya. Telah diterima bahwa ilmu dapat diklasifikasikan ke dalam unsur yang utama, sehingga dasar pengklasifikasian, selama yang berhubungan dengan manusia, itu dapat bermanfaat. Semua ilmu datang dari Allah. Untuk tujuan pengklasifikasian yang sesuai dengan tindakan kita, kita katakan dengan cara yang sama seperti manusia yang terdiri dari dwi hakikat yang memiliki dua jiwa, demikian pula ilmu terbagi menjadi dua jenis: yang satu adalahhidangan dan kehidupan untuk jiwanya, dan yang lain adalah pasokan untuk melengkapi diri manusia di dunia untuk mengejar tujuan pragmatisnya.
Ilmu jenis pertama itu diberikan Allah melalui wahyu-Nya kepada manusia; dan ini merujuk pada Kitab Suci al-Qur'an. Al-Qur'an adalah wahyu yang lengkap dan terakhir, sehingga ia sudah cukup sebagai bimbingan dan keamanan manusia. Dan tidak ada ilmu lain - kecuali yang didasarkan11 Dewesternisasi Ilmu di atasnya dan yang menunjuk kepadanya - yang dapat membimbing dan menyelamatkan manusia. Allah, demikian juga tidak pernah berhentiberhubungan dengan manusia, dan dengan rahmat-Nya, dan karunia dan kemurahan-Nya ia dapat menganugerahkan ilmu dan kebijaksanaan spiritual tertentu untuk hamba-Nya yang terpilih - 'sahabat-sahabat'-Nya (yakni, awliya') - Menurut tingkatan ihsan mereka (lihat QS. 10: 62, 18: 65, 31: 12, 38: 20).
Kitab Suci al-Qur'an adalah ilmu yang tidak ada bandingnya. Nabi, shallallahu 'alayhi wasallam - yang menerima wahyu dan menyampaikan al- Qur'an itu ke manusia sebagaimana yang diwahyukan Allah kepadanya, y ang telah menyampaikan ilmu itu kepada manusia, kehidupannya sendiri adalah penafsiran terhadap al-Qur'an yang paling baik dan sempurna sehingga kehidupannya menjadi pusat keteladanan dan bimbingan spiritual yang sejati untuk manusia-adalah ilmu tentang ilmu yang satu itu karena hakikat dan misi beliau yang diperintah Allah. Oleh karena itu sunnah-nya, sebagai cara beliau untuk menafsirkan hukum Allah (shari'ah) dalam kehidupan dan prakteksehari-hari adalah juga bagian dari ilmu tersebut. Shari'ah adalah hukum Allah yang terkandung dalam Kitab Suci al-Qur'an dan dijelmakan dalam kata (qawl), contoh perbuatan (fi'l), dan persetujuannya terhadap sesuatu dengan cara mendiamkannya (taqrir) di dalam sunnah, yang di dalamnya termasuk ilmu dan kebijaksanaan spiritual. Jadi, Kitab Suci Al-Qur'an, sunnah, shari'ah, al-'Ilm al-ladunniyy dan hikmah adalah unsur utama dari ilmu jenis yang satu itu. Terkait dengan ilmu yang disebut terakhir - ilmu spiritual dan kebijaksanaan - manusia hanya dapat memperolehnya melalui ibadah dan ketaatan kepada Allah. Hal ini tergantung pada penghargaan Allah serta kekuatan dan kemampuan spiritual yang diberi Allah kepadanya sehingga ia dapat menerima ilmu ini. Manusia menerima ilmu ini dengan cara terinspirasi langsung atau lewat penikmatan spiritual (dhawq) dan penyingkapan penglihatan spiritual (Kashf). Ilmu ini terkait diri atau jiwanya, dan ilmu seperti itu (ma'rifah) - jika dialami dalam pelaksanaan yang benar terhadapshari'ah - akan memberikan ilmu tentang Tuhan, dan karena itu disebut ilmu tertinggi. Di sini kita membicarakan ilmu pada tingkat ihsan, yaitu ketika 'ibadah telah mencapai, atau dengan kata lain serupa dengan ma'rifah (lihat 51: 56 dengan mengacu kepada li ya'budun, yang menurut ibn 'Abbas berarti li ya'rifun). Oleh karena ilmu tersebut pada akhirnya tergantung pada rahmat Allah dan oleh karena ia menuntut praktek dan pengabdian kepada Allah sebagai prasyarat memperolehnya, maka dapatlah disimpulkan bahwa untuk mendapatkan ilmu tersebut, ilmu tentang prasyarat itu menjadi sesuatu yang wajib. Ia mencakup ilmu tentang dasar-dasar Islam (islam - iman - ihsan), prinsipnya (arkan), arti dan maksudnya, serta pemahaman dan pelaksanaannya yang benar dalam kehidupan dan praktek sehari-hari. Setiap Muslim harus memiliki ilmu tentang prasyarat itu; harus mengerti dasar Islam dan keesaan Allah, pokoknya dan sifat-Nya (tawhid); harus memiliki ilmu tentang al-Qur'an, Nabi shallallahu 'alayhi wasallam, sunnah dan kehidupannya, serta12 Jurnal Terjemahan Alam & Tamadun Melayu menerapkan ilmu itu yang didasarkan amal dan pengabdian pada Allahsehingga setiap Muslim sudah berada dalam tingkat awal ilmu tingkat pertama tersebut, bahwa ia sudah siaga di atas Jalan Lurus yang akan membimbingnya menuju Allah. Pencapaiannya dalam mengejar kebaikan tertinggi (ihsan) akan tergantung pada ilmunya sendiri, kemampuanintuitifnya, kekuatan perenungan, kemampuan, prestasi dan keikhlasan.
Jenis ilmu yang kedua merujuk pada ilmu sains ('ulum) yang diperoleh melalui pengalaman, pengamatan dan penelitian. Ilmu ini bersifat diskursif dan deduktif dan terkait hal yang bernilai pragmatis. Ilmu jenis pertama diberikan oleh Allah kepada manusia melalui pengungkapan langsung, sedangkan yang kedua melalui spekulasi dan usaha penelitian rasional dan didasarkan pada pengalamannya tentang segala sesuatu yang dapat ditangkap pancaindera dan dipahami oleh akal. Yang pertama itu mengacu kepada ilmu tentang kebenaran objektif yang diperlukan untuk membimbing manusia, sedangkan yang kedua itu merujuk kepada ilmu tentang data yang dapatditangkap pancaindera dan dipahami akal yang dipelajari (kasbi) untuk penggunaan dan pemahaman kita.
Dari sudut pandang manusia, dua jenis ilmu itu harus diperoleh melalui perbuatan secara sadar ('amal), karena tidak ada ilmu yang berguna tanpa amal yang lahir dari ilmu tersebut, dan tidak ada amal yang berarti tanpa ilmu. Ilmu jenis pertama menyingkap misteri ada dan keberadaan dan mengungkapkan hubungan sejati antara diri manusia dan Tuhannya. Dan olehkarena untuk manusia ilmu tersebut terkait dengan tujuan utama manusia mengetahui, maka dapat disimpulkan bahwa ilmu tentang prasyarat ilmu itu menjadi dasar dan dasar utama untuk ilmu jenis yang kedua, karena ilmu yang kedua itu sendiri, tanpa bimbingan ilmu yang pertama, tidak akan dapat menuntun manusia dengan benar dalam kehidupannya dan hanya akanmembingungkan, menyesatkan, dan menjerat manusia ke dalam kancah pencarian yang tanpa akhir dan tujuan.
Kita juga melihat adanya batas untuk manusia atas ilmu jenis yang pertama dan yang tertinggi itu, sementara tidak ada batas untuk ilmu jenis yang kedua, sehingga selalu ada kemungkinan perjalanan tanpa henti yang didorong akibat penipuan intelektual dan khayalan diri dalam keraguan dan keingintahuan yang berkelanjutan. Seorang manusia seharusnya membatasi pencarian ilmu jenis yang kedua sampai ke kebutuhan praktis dan disesuaikan dengan hakikat dan kemampuannya. Tujuannya agar ia dapat menempatkan kedua ilmu itu dan dirinya di tempat yang benar dalam hubungan dengan dirinya yang sesungguhnya sehingga dapat dipelihara suatu kondisi yang adil. Untuk itu, agar tercapainya keadilan sebagai tujuan, Islam membedakan pencarianterhadap kedua jenis ilmu itu, menjadikan memperoleh ilmu tentang prasyarat untuk ilmu jenis yang pertama itu menjadi kewajiban untuk setiap Muslim (Fard 'ayn), sedangkan yang lainnya hanya menjadi kewajiban untuk sebagian Muslim (fard kifayah), dan kewajiban untuk yang kedua itu dapat saja dialihkan kepada satu khususnya untuk orang yang menganggap diri mereka berkewajiban mencari ilmu jenis yang satu demi memperbaiki diri. Pembagian kewajiban mencari ilmu ke dalam dua kategori ini adalah cara menerapkan keadilan terhadap ilmu dan untuk orang yang mempelajarinya, karena semua ilmu tentang prasyarat ilmu jenis yang pertama itu adalah baik untuk manusia, sedangkan tidak semua ilmu jenis yang kedua itu baik untuknya. Ini adalah kerana orang yang mempelajari ilmu jenis yang kedua ini, yang dapat membawa pengaruh yang cukup besar ke dalam peranan dan kedudukan sekularnya sebagai warga negara, belum tentu adalah manusia yang baik. Konsep 'manusia yang baik' dalam Islam tidak hanya bermaksud 'baik' dalam pengertian sosial seperti yang difahami orang pada umumnya, tetapi ia juga mesti pertama-tama baik kepada dirinya, tidak berlaku zalim (tidak adil) terhadap dirinya seperti yang telah diterangkan. Sekiranya ia tidak dapat adil kepada dirinya, bagaimana ia dapat benar-benar adil terhadap orang lain?
Jadi kita melihat dalam Islam: (a) ilmu merangkumi iman dan kepercayaan (b) tujuan menuntut ilmu adalah penanaman kebaikan atau keadilan dalam diri manusia sebagai manusia dan diri-peribadi, dan bukannya sekadar manusia sebagai warga negara atau bahagian yang tidak terpisahkan daripada masyarakat. Inilah nilai manusia sebagai manusia sejati, sebagai penduduk dalam kota- dirinya, sebagai warga negara dalam kerajaan mikrokosmiknya sendiri, sebagai ruh. Inilah yang perlu ditekankan, manusia bukan sekadar entiti fizik yang nilainya diukur dalam pengertian pragmatik atau utilitarian yang melihat kegunaannya bagi negara, masyarakat, dan dunia.
Sebagai landasan pemikiran bagi tujuan dan maksud pendidikan, dan bagi pembinaan ilmu teras yang terpadu dalam sistem pendidikan, saya merasakan pentingnya untuk mengumpulkan kembali sifat utama pandangan Islam tentang Realiti. Melihat bahawa pandangan Islam terhadap Realiti itu terpusat pada Wujud, maka dari itu dengan cara yang sama Wujud dalam Islam dilihat sebagai hirarki dari yang tertinggi hingga yang terendah. Dalam konteks ini kelihatan juga hubungan antara manusia dengan alam semesta, kedudukannya dalam urutan Wujud dan gambaran analoginya sebagai mikrokosmos yang mencerminkan Makrokosmos, dan bukan yang sebaliknya. Ilmu juga disusun secara hirarki, dan tugas kita pada masa ini adalah untuk merombak sistempendidikan yang kita ketahui – dan dalam beberapa hal merubahnya – sehingga ia mencerminkan aturan disiplin dalam sistem Islam.


DEFINISI DAN TUJUAN PENDIDIKAN

Telah kita katakan keadilan membayangkan ilmu yang juga bermakna ilmu itu mendahului keadilan. Kita telah mendefinisikan keadilan sebagai keadaan yang harmoni atau keadaan dengan segala sesuatu itu pada tempatnya yang benar dan tepat – seperti kosmos; atau keadaan yang seimbang, baik yang menyangkut dengan benda atau makhluk hidup. Lebih jauh lagi telah kita katakan berkaitan14 Jurnal Terjemahan Alam & Tamadun Melayu tentang manusia dan melihat hakikat gandanya, keadilan adalah situasi dan keadaan yang ia berada pada tempatnya yang benar dan tepat – situasinya dalam hubungan dengan yang lain dan keadaannya dalam hubungan dengan dirinya sendiri. Kemudian telah kita sebut bahawa ilmu tentang 'tempat yang benar' bagi suatu benda atau suatu wujud adalah suatu kebijaksanaan (wisdom). Kebijaksanaan adalah ilmu yang diberikan oleh Allah untuk memungkinkan orang yang ilmu tersebut berada padanya untuk mengamalkannya sehingga ia (pengamalan dan keputusan tersebut) menyebabkan lahirnya keadilan. Dengan demikian keadilan adalah keadaan eksistensial dari kebijaksanaan yang terjelmadalam hal yang dicerap pancaindera dan difahami akal serta dalam alam kerohanian yang berkaitan dengan dua jiwa manusia itu. Penjelmaan luaran keadilan dalam kehidupan dan masyarakat itu tidak lain daripada hadirnya adab dalam kehidupan dan masyarakat tersebut. Saya menggunakan konsep (ma'na') adab di sini dalam pengertiannya yang paling awal dari istilah itu, sebelummunculnya inovasi yang dibuat para cerdik pandai kesusasteraan. Pengertian adab pada asalnya adalah undangan kepada suatu jamuan. Konsep jamuan ini membawa makna bahawa tuan rumah adalah orang yang mulia dan dihormati dan ramai orang yang hadir; para hadirin adalah mereka yang dalam penilaian tuan rumah patut mendapat penghormatan atas undangan itu. Oleh kerana itu, mereka adalah orang budiman dan terhormat yang diharapkan berperilaku sesuai dengan kedudukan mereka, dalam percakapan, tingkah laku dan etiket. Dalam pengertian yang sama kenikmatan makanan yang lazat dalam jamuan itu makin bertambah dengan kehadiran orang yang terhormat serta ramah, dan hidangan tersebut dijamu dengan tatacara, perilaku dan etiket yang penuh dengan kesopanan. Demikian pula halnya ilmu harus disanjung dan dinikmati serta didekati dengan cara yang sama sesuai dengan ketinggian yang dipunyainya. Dan inilah sebabnya kita mengatakan analogi ilmu adalah hidangan dan kehidupan bagi jiwa itu. Berdasarkan pengertian ini, adab juga bermaksud mendispilinkan fikiran dan jiwa. Ia adalah pemerolehan sifat dan ciri yang baik bagi fikiran dan jiwa. Ia juga pelaksanaan perbuatan benar dan tepat sebagai lawan daripada perbuatan yang salah dan keliru; menjadi benteng yang melindungi dari keaiban. Analogi dari undangan ke suatu jamuan untuk ikut menikmati makanan yang lazat, dan kepada ilmu untuk menjadi hidangan bagi akal dan jiwa, dinyatakan secara jelas dan mendalam dalam suatu hadith yang diriwayatkan oleh ibn Mas'ud radiyaLlahu 'anhu:
“Sesungguhnya Kitab Suci al-Qur'an ini adalah jamuan Allah di bumi, maka lalu belajarlah dengan sepenuhnya dari jamuan-Nya” Lisan al-'Arab mengatakan ma'dabat bermaksud mad'at (I:206:2) maka Kitab Suci al-Qur'an adalah undangan Allah ke suatu jamuan kerohanian di muka bumi dan kita dinasihati untuk ikut mengambil bahagian dengan cara mengambil ilmu sejati daripadanya. Pada akhirnya, ilmu yang benar itu adalah 'mengecap rasanya yang sejati' dan itulah sebabnya kita katakan sebelum ini bahawa dengan merujuk kepada unsur utama ilmu jenis yang pertama, manusia menerima ilmu dan kebijaksanaan kerohanian daripada Allah melalui ilham secara langsung atau kenikmatan kerohanian (dhawq), pengalaman tersebut hampir secara serentak menyingkapkan realiti dan kebenaran sesuatu kepada penglihatan kerohaniannya (kashf ). Orang yang di dalam dirinya tersimpan adab mencerminkan kebijaksanaan dan dalam hubungannya dengan masyarakat adab itu adalah pengaturan susunan yang adil di dalamnya. Maka adab adalah persembahan keadilan seperti yang dicerminkan dalam kebijaksanaan, dan ia adalah pengakuan kepada berbagai hirarki (maratib) dalam susunan wujud, eksistensi dan ilmu, dan perbuatan yang sesuai dengan pengakuan itu. Telah kita katakan sebelum ini tujuan mencari ilmu dalam Islam adalah untuk menanamkan kebaikan atau keadilan pada manusia sebagai manusia dan diri peribadi. Oleh kerana itu, tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk melahirkan manusia yang baik. Apa yang dimaksudkan dengan 'baik' dalam konsep kita tentang 'manusia baik'? Unsur asasi yang terkandung dalam konsep pendidikan Islam adalah penanaman adab, kerana adab dalam pengertian yang luas di sini dimaksudkan meliputi kehidupan kerohanian dan kebendaan manusia yang menumbuhkan sifat kebaikan yang dicarinya. Pendidikan adalah tepat seperti yang dimaksudkan dengan adab oleh baginda Nabi, sallaLlahu 'alayhi wasallam, ketika baginda bersabda:
Tuhanku telah mendidik (addaba) aku, dan menjadikan pendidikanku (ta'dib) yang terbaik.
Pendidikan adalah meresapkan dan menanamkan adab pada manusia – ia adalah ta'dib. Jadi adab adalah apa yang mesti ada pada manusia jika ia boleh memperlihatkan kemampuan dirinya dengan cemerlang dalam kehidupan ini dan hari akhirat. Definisi pendidikan dan tujuan serta maksudnya itu sesungguhnya telah terangkum dalam penerangan tentang konsep adab seperti yang dipaparkan di sini.




SISTEM ATURAN DAN DISIPLIN ISLAM

Sebelum ini, kita telah menyebut sistem aturan dan disiplin dalam Islam. Islam adalah contoh yang terbaik daripada aturan dan disiplin kosmos Ilahi, dan orang yang sedar akan takdirnya dalam Islam mengetahui bahawa dengan pengertian yang sama ia juga suatu aturan dan disiplin. Ia sendiri bagaikan sebuah kota, sebuah kerajaan dalam bentuk miniatur; kerana di dalam dirinya seperti juga di dalam seluruh umat manusia terjelmakan sifat Sang Pencipta dan bukan yang sebaliknya. Manusia tahu dirinya mengetahui, dan pengalaman daripada pengetahuan seperti itu memberitahu dirinya yang dia adalah wujud dan sekaligus eksistensi, suatu kesatuan tetapi juga keberagaman, dia sentiasa wujud tetapi pada saat yang sama bersifat fana – pada satu sisi dia tetap tetapi pada sisi yang lain berubah. Keperibadiannya, sejak kelahiran hingga kematiannya sebagai fenomena wujud itu tidaklah berubah sekalipun wujud fizikalnya selalu berubah dan akhirnya akan mengalami kemusnahan. Hal ini berkait dengan hakikat keperibadiannya merujuk kepada suatu yang tetap dalam dirinya – jiwa akalinya. Seandainya bukan kerana sifatnya yang tetap ini, tidak mungkin bagiilmu untuk berada dalam dirinya. Maka ilmu jenis yang pertama itu yang menjadi kehidupannya dan makanannya itu merujuk kepada jiwa akalinya. Pendidikannya secara keseluruhan dan upaya memperoleh ilmu yang menuntunnya kepada ilmu jenis yang pertama itu menuntutnya memperolehilmu tentang prasyarat bagi ilmu jenis yang pertama itu (iaitu fard 'ayn). Oleh sebab hakikat keperibadiannya yang tetap, demikian pula dengan pendidikan dalam Islam itu merupakan proses yang terus-menerus sepanjang masa hidupnya di muka bumi dan ia meliputi setiap aspek kehidupan itu. Dari sudut pandangan pemakaian linguistik, kita harus melihat hakikatnya istilah 'ilm itu telah digunakan dalam Islam untuk merangkumi keseluruhan kehidupan – kerohanian,intelektual, keagamaan, kebudayaan, perseorangan dan sosial – bermaksud bahawa sifatnya adalah universal, dan bahawa ia penting untuk menuntun manusia meraih keselamatannya. Tidak ada kebudayaan dan peradaban lain pernah menggunakan istilah tunggal untuk ilmu untuk merangkumi semua kegiatan dalam kehidupan manusia. Barangkali inilah sebabnya mengapa pengaturan, penanaman dan penyebaran ilmu itu difahami sebagai sistem aturan dan dispilin yang berhubungan dengan kulliyah, suatu konsep yang membawakan gagasan universal. Kita mengetahui bahawa berdasarkan zaman paling yang awal Islam memulakan sistem pendidikannya secara besar-besarandengan masjid sebagai pusatnya; dan dengan masjid ( jami') yang terus menjadi pusatnya bahkan – dalam beberapa hal – sehingga sekarang, di sana berkembang lembaga pendidikan lainnya seperti maktab, bayt al-hikmah, pertemuan sarjana dan pelajar (majalis), dar al-'ulum, dan madaris. Dan dalam bidang ilmu perubatan, astronomi dan ilmu-ilmu pengabdian berkembanglah rumah sakit,observatorium dan zawiyah di kalangan persaudaraan Sufi. Kita juga mengetahui perguruan tinggi Barat itu dibentuk meniru model Islam yang asal. Sangat sedikit maklumat yang saya punyai, akan tetapi tinjauan ke atas konsep asli universiti dalam sistem pendidikan Islam dan pengembangan konsep asal Islam yang berhubungan dengan struktur universiti itu telah mempengaruhi model universiti Barat. Namun demikian, ciri umum dan struktur universiti masa sekarang yang meniru betul-betul model Barat itu masih mengungkapkan secara jelas jejak asal Islamnya. Asal-usul nama institusi itu berasal dari bahasa Latin: universitatem, dengan jelas mencerminkan konsep kulliyah yang berasal daripada Islam pada mulanya. Pada masa itu juga peranan ilmu perubatan dalam pendidikan Islam dan pengaruhnya yang besar ke atas Barat, konsep anatomiknya tentang fakultiyang mengingatkan kembali terhadap quwwah, suatu istilah yang bermaksud suatu kekuatan yang terkandung pada suatu organ yang menjadi yang paling penting pengaruhnya. Pengaruh ini bukan sahaja – menurut saya – dalam hal menentukan asal Islamnya, tetapi juga membuktikan hakikat bahawa kerana konsep fakulti berhubungan dengan makhluk hidup tempat sifat ilmu itu berada,dan bahawa ilmu ini menjadi prinsip yang mengatur fikiran dan perbuatannya, maka universiti harus difahami sebagai upaya meniru struktur umum manusia, baik dalam bentuk, fungsi dan tujuannya. Ini adalah perlambangan mikrokosmik daripada manusia, bahkan sesungguhnya manusia universal.
Tetapi, universiti yang dikembangkan kemudian di Barat dan ditiru hari ini di seluruh dunia itu tidak lagi mencerminkan manusia. Ibarat manusia tanpa keperibadian, universiti moden tidak mempunyai pusat yang sangat penting dan tetap, tidak ada prinsip utama yang tetap yang menjelaskan tujuan akhirnya. Ia tetap menganggap dirinya memikirkan hal universal, bahkan menyatakan mempunyai fakulti dan jabatan seperti layaknya tubuh suatu organ – tetapi ia tidak mempunyai otak, jangankan akal dan jiwa, kecuali dalam fungsi pentadbiran murni untuk pemeliharaan dan perkembangan fizikal. Perkembangannya tidak dibimbing prinsip yang akhir dan tujuan yang jelas, kecuali prinsip nisbi yang mendorong mengejar ilmu tanpa henti dan tujuan yang jelas. Ia telah menjadi simbol yang kabur – tidak seperti konsep al-Qur'an mengenai ayah – kerana ia hanya menunjuk kepada dirinya sendiri (iaitu, sains untuk sains itu sendiri) bukan untuk tujuan sebenar ia dihadirkan (iaitu bagi manusia). Akibatnya, universiti hanya menghasilkan kekeliruan yang tidak ada akhir, bahkan keraguan. Oleh sebab landasan sekular kebudayaan Barat itu, seperti yang telah diterangkan di bahagian awal, universiti diarahkan kepada tujuan nisbi yang sekular, dan oleh kerana itu mencerminkan negara dan masyarakat sekular dan bukan manusia universal. Tidak pernah ada dan tidak mungkin akan ada, kecuali dalam Islam iaitu dalam peribadi Nabi Muhammad, sallaLlahu 'alayhi wasallam, manusia universal yang dapat dicerminkan dalamperlambangan mikrokosmik seperti 'universiti'. Tidak ada negara atau masyarakat yang dapat dipandang boleh mempunyai sifat yang disebut ilmu itu, kerana sifat ini hanya dipunyai manusia perseorangan. Bahkan, jika ada yang membantah dengan menyatakan unversiti moden juga sebenarnya meniru manusia, maka hakikatnya yang digambarkannya itu hanyalah manusia sekular,binatang rasional tanpa ruh, bagaikan lingkaran tanpa titik pusat. Berbagai fakulti dan jurusan di dalamnya, seperti pelbagai fakulti dan indera tubuh, dalam universiti moden tidaklah selaras dan tersusun. Masing-masing sibuk dengan haluannya sendiri yang tidak ada akhir; setiap bahagian melaksanakan 'kehendak-bebas'-nya sendiri, tidak ada kesatuan kehendak sebagai wujud yang satu, kerana memang tidak ada yang namanya 'Wujud' – semuanya adalah 'kemenjadian'. Dapatkah seseorang dinilai sihat dan waras apabila ia memikirkan18 Jurnal Terjemahan Alam & Tamadun Melayu suatu hal dan pada saat yang sama ia mengakui sesuatu yang sama sekali berbeza dengan apa yang difikirkannya, mengatakan sesuatu yang lain sama sekali, mendengar suara yang berbeza, tetapi juga melihat hal yang berbeza? Universiti moden adalah contoh terbaik manusia dalam keadaan zulm, dan keadaan semacam itu dipelihara dengan cara menganjurkan, mengangkat dan membenarkan keraguan serta dugaan sebagai perangkat epitemologi untuk penyelidikan saintifik. Kitab Suci al-Qur'an berulang kali menolak kaedah sedemikian, melabelnya sebagai lawan kepada ilmu. Oleh itu keraguan, dugaan dan tekaan, pertengkaran dan perdebatan, kecenderungan fikiran dan jiwa ke arah nafsu tabii, umumnya semua itu dipandang tercela – lebih-lebih lagi kalau diterapkan dalam dan menyamar sebagai ilmu.
Kita harus mencatat hakikat penting bahawa dalam kebudayaan dan peradaban Barat, dan merujuk kepada sosiologi ilmu, Barat telah mendefinisikan ilmu dalam pengertian sebagai usaha sains untuk mengendalikan alam dan masyarakat. Dalam hal manusia sebagai individu, Barat tidak lagi memberi perhatian atau merealisasikan usaha perbaikan, pengenalan dan peningkatan keperibadiannya serta hasratnya mempelajari aturan Ilahi di dunia dan keselamatan. Padahal perkara ini adalah tujuan yang paling penting – yang bermaksud hakikat sejati – dari ilmu. Hal ini berlaku kerana bahawa Barat tidak mengakui Realiti untuk mengarahkan pandangannya, tidak ada satu Kitab Suci yang dapat menegaskan dan menunjukkan dalam kehidupan, tidak ada seorang pembimbing, seorang manusia universal, yang katanya, perbuatannya, tindakannya serta seluruh kehidupannya dapat dijadikan contoh teladan dalam kehidupan. Sebagai orang Islam, kita tidak boleh mengabaikan hakikat yang penting ini; kerana dalam Islam terkandung tiga asas ilmu itu serta amalan yang disebut tadi, dan kerana alasan itu ilmu diklasifikasikan kepada dua jenis dan menjelaskan konsep ilmu prasyarat harus menjadi asas dan teras bagi semua pendidikan.